Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mendorong pemerintah membangun industri antara untuk menyerap produksi olahan smelter.
Selama ini, industri antara menjadi penghubung antara hasil mineral logam olahan smelter dengan industri produk jadi. Terputusnya rantai industri ini membuat penerimaan negara tidak optimal.
Faisal menilai pemerintah perlu melakukan pemetaan ulang terhadap industri yang ada. Data ini kemudian dikoordinasikan bersama antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Perindustrian.
“Dalam hal membangun industri antara yang bisa menyerap produk yang dihasilkan smelter,” katanya kepada Bisnis, Kamis (9/12/2021).
Pemerintah beberapa kali telah mendorong penghiliran produk mineral logam termasuk batu bara. Akan tetapi, upaya ini tidak sejalan dengan kondisi lapangan.
Dalam prosesnya, hasil tambang akan diolah melalui smelter. Hasil olahan ini kemudian diekspor ke pasar global. Pasalnya tidak ada industri antara yang dapat menyerap. Industri tersebut tersebar ke sejumlah negara termasuk China.
Setelah diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi, Indonesia kembali mengimpor produk tersebut hingga dijadikan produk jadi. Terputusnya industri ini membuat penerimaan negara tidak berjalan maksimal.
“Sesuai dengan program pemerintah untuk membawa dia [dari hulu] ke hilir, ke baterai sampai kendaraan listrik. Tapi belum bisa sehingga harus ekspor [untuk diolah] dulu baru impor [lagi],” terangnya.
Pemerintah menargetkan pembangunan 53 smelter pada 2024. Tahun ini, pemerintah membidik pembangunan 23 smelter melalui pembangunan empat smelter pada tahun ini.
Ditargetkan empat smelter selesai dibangun hingga akhir tahun. Keempatnya adalah PT Smelter Nikel Indonesia di Banten dan PT Cahaya Modern Metal Industri di Banten. Kemudian PT Antam di Maluku Utara dan PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah.