Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Penyebab Industri Gula Indonesia Masih Tertinggal  

Data yang dihimpun menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan produksi gula Indonesia hanya sebesar 2,4 persen dalam kurun 1960 sampai 2015.
Pekerja sedang menimbang gula yang dkemas dalam plastik di Pasar legi, Solo, Selasa (10/5). JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu
Pekerja sedang menimbang gula yang dkemas dalam plastik di Pasar legi, Solo, Selasa (10/5). JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu

Bisnis.com, JAKARTA – Riset yang dilakukan Independent Research Advisory Indonesia (IRAI) menjabarkan sejumlah faktor yang menyebabkan industri gula Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan produsen lain. Mayoritas masalah datang dari sisi on farm.  

CEO dan Founder IRAI Lin Cha Wei mengatakan permasalahan tersebut mencakup produktivitas dan rendemen yang rendah, serta rasio area penanaman dan kapasitas giling yang tidak seimbang.  

“Indonesia punya gap yang lebar dalam hal pertumbuhan produksi dan produktivitas gula dibandingkan dengan negara lain. Kita lihat beberapa negara seperti Thailand, Brasil, dan Australia bisa terus meningkatkan kapasitas produksi,” kata Lin Cha Wei dalam webinar bertajuk Teknologi Off Farm dan IoT dalam Mendukung Kemutakhiran Industri Gula, Kamis (25/11/2021).  

Data yang dihimpun menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan produksi gula Indonesia hanya sebesar 2,4 persen dalam kurun 1960 sampai 2015. Di sisi lain, Brasil mencatatkan pertumbuhan sekitar 4 persen dan Thailand sebesar 7 persen.  

Sejumlah faktor yang memicu rendahnya produksi Indonesia, kata Lin Cha Wei, mencakup kualitas bibit yang rendah, praktik pertanian tradisional, dan perkebunan tebu yang tersebar milik petani kecil.  

“Di sisi off farm pemicu produktivitas yang rendah adalah mesin berusia tua yang minim penanganan, serta operasional dan manajemen transportasi yang terbatas. Padahal ini bisa mengadopsi digitalsasi sebagai solusi,” katanya.  

Dengan luas area mencapai 485.000 hektare (ha), rendemen gula Indonesia juga hanya berkisar 7,4 persen. Sementara di Brasil mencapai 15 persen dan Thailand 11 persen.  

Sebanyak 63 persen pabrik gula menghadapi ketidakseimbangan rasio luas area tanam dan kapasitas giling. Hal ini tak lepas dari makin berkurangnya area penanaman karena alih fungsi, terutama di Pulau Jawa.  

“Melihat masalah-masalah ini, usaha harus mengarah pada penyelesaian masalah prioritas. Jadi yang punya dampak besar dan usaha yang relatif kecil sebenarnya bagaimana meningkatkan produktivitas tebu,” katanya.  

Peningkatan produktivitas, kata Lin Cha Wei, bisa ditempuh dengan memperbaiki kualitas tebu, pengembangan sumber daya manusia, memperbaiki teknik menanam, dan pengembangan perkebunan di wilayah klaster. Dengan demikian, biaya logistik bisa ditekan.  

“Selain itu integrated factories juga akan meningkatkan stabilitas dan efisiensi usaha,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper