Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kenaikan Cukai Rokok, Kemenperin Usul Tak Terlalu Tinggi

Rencana kenaikan tarif CHT diketahui seiring dengan meningkatnya target penerimaan cukai tahun depan sebesar 13,27 persen atau menjadi Rp203,9 triliun dari tahun ini Rp180 triliun.
Pekerja menjemur tembakau rajang di Sidowangi Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (21/9/2020). Petani setempat mengaku terpaksa menyimpan hasil panen di gudangnya karena harga tembakau turun dan kesulitan menjual hasil panennya karena tidak ada permintaan dari pabrik. /Antara
Pekerja menjemur tembakau rajang di Sidowangi Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (21/9/2020). Petani setempat mengaku terpaksa menyimpan hasil panen di gudangnya karena harga tembakau turun dan kesulitan menjual hasil panennya karena tidak ada permintaan dari pabrik. /Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian mengusulkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) yang tidak terlalu tinggi pada tahun depan. Direktur Industri Minuman, Industri Tembakau dan Bahan Penyegar, Kemenperin Edy Sutopo mengatakan jika rencana kenaikan CHT tetap dilanjutkan di tengah penolakan dari sektor industri, pihaknya memberi masukan agar tarifnya tidak naik terlalu tinggi.

Rencana kenaikan tarif CHT diketahui seiring dengan meningkatnya target penerimaan cukai tahun depan sebesar 13,27 persen atau menjadi Rp203,9 triliun dari tahun ini Rp180 triliun.

"Kami kurang sepakat jika cukai dinaikkan terlalu tinggi. Harus hati-hati tentang kenaikan tarif CHT ini, karena Indonesia masih membutuhkan industri hasil tembakau atau IHT," kata Edy, Kamis (25/11/2021).

Menurutnya, jika industri ini mampu bertahan, bukan tidak mungkin justru akan memberikan dampak yang positif terhadap penerimaan negara.

Data Kementerian Perindustrian menyatakan, sepanjang 2020 setidaknya 4.500 tenaga kerja di sektor IHT yang dirumahkan. Edy mengatakan data tersebut bisa saja lebih besar karena banyak pabrik dengan pertimbangannya masing-masing yang kurang disiplin dalam pelaporannya. Keluhan petani pun, lanjut Edy, sering datang karena penyerapan bahan baku tembakau yang kian menurun.

"Pertimbangan yang harus dipikirkan dalam kebijakan CHT memang banyak dan tidak mudah karena bersentuhan dengan banyak orang dan multisektor," lanjutnya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menambahkan kenaikan eksesif tarif CHT di masa pemulihan ekonomi menjadi kurang tepat. Sebab, meskipun penularan Covid-19 bisa terkendali, pemulihan akibat dampak masif yang ditimbulkan selama dua tahun terakhir membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun.

"Rokok adalah produk konsumsi nomor dua yang amat penting untuk menyokong ekonomi negara. Di sisi lain merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang," kata Ahmad.

Menurutnya akan lebih baik jika pemerintah memiliki formula baku dalam setiap kebijakan cukai rokok termasuk untuk kenaikan tarifnya. Formula tersebut merupakan gabungan pertimbangan dan data dari berbagai dimensi terkait seperti aspek kesehatan, tenaga kerja, penerimaan negara, petani, hingga pemantauan rokok ilegal.

Ahmad mengatakan saat ini, arah kebijakan terkait cukai rokok kurang memenuhi aspek keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan terkait.

"Maraknya rokok ilegal juga perlu mendapat perhatian khusus. Pada 2020, kenaikkan CHT mencapai 23,5 persen membuat tingkat peredaran rokok ilegal mencapai 4,86 persen dengan taksiran kerugian negara Rp4,38 triliun. Itu hanya hitungan yang ditangkap belum memperhitungkan rokok ilegal yang belum ketahuan," ujar Ahmad.

Sebelumnya, survei rokok ilegal oleh Indodata pada Agustus lalu dengan 2.500 koresponden menyatakan 28,12 persen perokok di Indonesia pernah atau sedang mengkonsumsi rokok ilegal.

Artinya, sekitar 127,53 miliar batang yang beredar di masyarakat merupakan produk ilegal yang tidak membayar cukai ke pemerintah dan tidak mendapat jaminan keamanan dalam pembuatannya. Berdasarkan jumlah konsumsi rokok ilegal per hari dari total konsumsi rokok, maka persentase yang dihasilkan menjadi 26,30 persen atau sebanyak 29.284 batang.

Dari angka tersebut setidaknya negara mengalami kebocoran pundi-pundi sebanyak Rp53,18 triliun. Adapun, yang menjadi penyebab utama masyarakat beralih ke produk ilegal adalah persoalan harga. Kenaikan PPn diprediksi akan meningkatkan risiko beralihnya masyarakat dari produk legal ke produk ilegal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper