Bisnis.com, JAKARTA – Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah melakukan kajian terkait penerapan sistem perizinan berusaha berbasis risiko atau Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA). Kajian ini dilakukan pada subjek pemerintah daerah, instansi, dan pelaku usaha di daerah.
Salah satu hasil kajian yang dilakukan terhadap pelaku usaha daerah menunjukkan bahwa mereka sudah memiliki pengetahuan terkait dengan OSS-RBA, meski sangat terbatas.
"Sangat terbatas dalam arti belum mengetahui secara detail proses OSS RBA. Lalu, bagaimana kategorisasi terkait dengan usaha-usahanya," kata Acting Director Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparmand pada webinar, Selasa (23/11/2021).
Menurut Armand, hasil studi yang dilakukannya menunjukkan pelaku usaha di daerah masih kesulitan dan membutuhkan pendampingan dalam menggunakan sistem OSS-RBA yang diresmikan Presiden Joko Widodo 9 Agustus lalu.
Armand mengatakan kesulitan dalam penggunaan OSS yang dialami oleh pelaku usaha di daerah adalah pada urusan penginputan pada sistem OSS dan membedakan izin-izin usaha sesuai skalanya seperti usaha mikro kecil (UMK) atau non-UMK, risiko rendah, menengah-tinggi, atau tinggi.
Tidak hanya itu, pelaku usaha juga mengaku membutuhkan pendampingan yang intens terutama terkait dengan migrasi OSS versi 1.1 ke OSS RBA untuk mempercepat integrasi layanan perizinan agar menjadi lebih sederhana, cepat, dan murah.
Baca Juga
Dari sisi kebijakan atau regulasi, KPPOD juga menemukan ada pelaku usaha yang belum mengetahui dan memahami sejumlah aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Armand menyebut pelaku usaha mengaku belum mendapatkan sosialisasi baik dari pemerintah daerah maupun pusat.
"Dalam proses penyusunan regulasi di daerah juga, dalam konteks ini kami coba tanya kepada pelaku usaha apakah mereka dilibatkan. Ternyata, mereka tidak dilibatkan. Kalaupun dilibatkan, itu hanya formalitas, menurut pelaku usaha," tutur Armand.
Kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemda terkait dengan OSS-RBA terhadap pelaku usaha berdampak lebih signifikan terhadap sejumlah pelaku UMK perempuan. KPPOD menemukan beberapa pelaku UMK perempuan bahkan mengaku belum pernah mendapatkan informasi dan sosialisasi dari pemda terkait dengan UU Cipta Kerja.
Adapun, kajian atau asesmen oleh KPPOD ini dilakukan di lima daerah di Indonesia yaitu Makassar, Balikpapan, Surabaya, Medan, dan DKI Jakarta.
Lalu, metodologi yang dilakukan adalah dengan studi kualitatif gabungan hasil analisis regulasi dan data (informasi lapangan), dan teknik pengumpulan data menggunakan Focus Group Discussion (FGD) dan in-depth interview.
Terdapat tiga kelompok narasumber yang menjadi subjek kajian yaitu pemda, instansi vertikal, serta dunia usaha.