Bisnis.com, JAKARTA — Upaya transisi menuju energi hijau menghadapi tantangan tuntutan penyelamatan lingkungan dan keseimbangan aktivitas ekonomi. Komitmen pengurangan emisi karbon perlu menjadi prioritas dan perekonomian yang perlu menyesuaikan diri.
Isu emisi karbon selalu menjadi pembahasan pemerintah di setiap forum, sepulangnya Indonesia dari pertemuan Change Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa dunia berkomitmen mengurangi emisi karbon pada 2050.
Di dalam negeri, menurut Sri Mulyani, Indonesia masih menghadapi tantangan untuk melakukan transisi menuju energi hijau. Saat ini batu bara masih menjadi sumber energi utama, sehingga penghentian penggunaan batu bara mesti bertahap.
Menurutnya, transisi penggunaan batu bara menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan harus didukung berbagai instrumen kebijakan dan investasi yang besar. Selain itu, aktivitas perekonomian pun harus terjaga saat energi terbarukan digunakan.
Penggunaan batu bara sebagai sumber energi melibatkan banyak sektor serta tenaga kerja, mulai dari tambang, pembangkit listrik, hingga PT PLN (Persero) sebagai perusahaan tunggal pengelola listrik.
Baca Juga
Transisi pun kemudian tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba. Salah satu pertimbangan besar di dalam negeri adalah adanya kontak PLN yang masih berjalan dalam penggunaan energi dari perusahaan-perusahaan pembangkit listrik.
"Makanya kami di Kementerian Keuangan, waktu di Glasgow kami bilang mau-mau saja climate change menjadi persoalan global, hitung-hitungannya [ekonomi] juga harus diperhitungkan," ujar Sri Mulyani pada Kamis (18/11/2021).
Di sisi lain, transisi energi bukan hanya mencakup perubahan sumber energi dan perangkat-perangkatnya. Perdagangan karbon menjadi instrumen penting bagi negara-negara untuk memastikan produksi emisi semakin kecil.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah siap memberlakukan kebijakan harga karbon. Namun, belum terdapat besarannya, karena harga itu menjadi pembahasan seluruh dunia seiring terdapat potensi terjadinya arbitrase dalam perdagangan karbon.
Dia menjabarkan bahwa di Kanada, harga karbon yang mulanya US$45 naik menjadi US$125, bahkan dapat mencapai US$140. Tingginya harga karbon di satu sisi menjadi hal baik karena dapat menekan produksi emisi, tetapi di sisi lain dapat membebai bisnis.
"Kalau mau menekan kenaikan suhu dunia, tidak melebihi 1,5 derajat maka harga karbon harus makin mahal, mengurangi emisi secara lebih signifikan. Namun, masalahnya kan affordability, atau nanti krisis energi terjadi karena orang enggak mau menghasilkan emisi," ujarnya.
Meskipun begitu, Indonesia jangan sampai menetapkan harga karbon yang terlalu murah. Menurut Sri Mulyani, negara-negara lain bisa saja memproduksi emisi dengan dahsyat dan membeli kredit karbonnya dari Indonesia karena murah, hal itu pun kemudian tidak sejalan dengan upaya menjaga lingkungan.
Adapun, Sri Mulyani menceritakan kondisi yang terjadi di Jerman, ketika transisi energi berjalan cukup cepat. Di negara itu kini harga gas membumbung tinggi sehingga Jerman berpindah ke batu bara, tetapi harga batu bara pun terus semakin tinggi.
"Ini [kondisi di Jerman] menjadi backfire. Kalau dunia terlalu ekstrem tanpa kalkulasi maka [pada akhirnya penggunaan] fossil fuel makin tinggi, CO2 makin banyak diproduksi. Jadi harus dipikirkan mengenai transisi ini," ujar Sri Mulyani.
Selain itu, transisi energi pun perlu mempertimbangkan sisi hilirnya. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyatakan bahwa pengembangan kendaraan listrik dan berbagai produk listrik dalam negeri merupakan salah satu upaya sektor hilir dalam menampung transisi energi di hulu.
Arahan Jokowi
Di lain sisi, Presiden Joko Widodo mendorong PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk segera menyiapkan rencana transisi energi dari energi fosil menjadi energi hijau.
"Kita tahu bahwa transisi energi ini memang tidak bisa ditunda-tunda. Oleh sebab itu, perencanaannya, grand design-nya, itu harus mulai disiapkan. Tahun depan kita akan apa, tahun depannya lagi akan apa, lima tahun yang akan datang akan apa,” kata Jokowi dikutip dari situs Presiden.go.id.
Dia menegaskan bahwa penyiapan transisi energi menuju energi hijau merupakan keharusan. Oleh karena itu, Presiden meminta untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk memperkuat fondasi menuju transisi energi.
“Ini yang harus mulai disiapkan, mana yang bisa digeser ke hidro, mana yang bisa digeser ke geotermal, kemudian mana yang bisa digeser ke surya, mana yang bisa digeser ke bayu,” lanjut Kepala Negara.
Dia mengakui bahwa suplai energi di Indonesia terbesar saat ini masih dari batu bara sebesar 67 persen, kemudian bahan bakar atau fuel 15 persen, dan gas 8 persen.
Menurut pandangannya, apabila Indonesia dapat mengalihkan energi tersebut, maka akan berdampak pada keuntungan neraca pembayaran yang dapat memengaruhi mata uang (currency) Indonesia.
“Kalau kita bisa mengalihkan itu ke energi yang lain, misalnya mobil diganti listrik semuanya, gas rumah tangga diganti listrik semuanya, karena di PLN oversupply. Artinya, suplai dari PLN terserap, impor minyak di Pertamina menjadi turun,” tuturnya.
PLN sendiri baru akan membangun pembangkit listrik bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT) setelah program pembangunan pembangkit berkapasitas 35.000 MW selesai.
Perusahaan sendiri telah merancang strategi untuk mencapai komitmen peningkatan bauran energi baru dan terbarukan (EBT), sehingga dalam implementasinya dapat berjalan dengan lancar.
Vice President Energi Hidro PLN Deny Waskitho Sigit mengatakan dalam pengembangan pembangkit EBT harus tetap dengan menjaga keselarasan pasokan dan permintaan.
"Jangan sampai kita kelebihan supply yang mana nanti secara bisnis akan tidak baik. Kalau dilihat dari EBT," ujarnya di PLTA Saguling, Bandung, Kamis (11/11/2021).
Sementara itu, PT Pertamina berniat mengalokasikan belanja modal sebesar US$8,3 miliar atau Rp118,7 triliun dalam rangka mendorong pertumbuhan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sepanjang 2020-2024.
Alokasi belanja modal untuk EBT ini mencapai 9 persen dari alokasi belanja modal perusahaan secara keseluruhan yang mencapai US$92 miliar atau Rp1,3 kuadriliun untuk periode lima tahun tersebut.
Adapun, dikutip dari situs Pertamina, target bauran energi Pertamina secara umum adalah mengurangi porsi penggunaan BBM dan LPG menjadi 64 persen dan meningkatkan porsi penggunaan gas menjadi 19 persen serta EBT menjadi 17 persen dari total bauran energi di 2030.