Bisnis.com, JAKARTA - Ketika perekonomian global belum sempat mengalami kehangatan hubungan yang sangat intim dengan tren pemulihan, riak-riak gangguan laksana rumah tangga yang baru terjalin silih berganti memberi cobaan.
Setelah varian Delta, krisis energi di beberapa negara maju dan berkembang berpotensi menjalar ke seluruh dunia dan memunculkan memori lama mengenai sebuah fenomena makroekonomi yang berwatak sangat antagonis, stagflasi.
Sebagai studi kasus, sejarah modern mencatat ada dua masa Amerika Serikat mengalami stagflasi. Pertama pada periode setelah Perang Dunia II (1950-an). Kedua, saat pemerintahan Presiden Ford dan Carter (1970-an).
Kendati secara umum penyebab dari kedua periode stagflasi itu bisa diperdebatkan, karena stagflasi 1970-an ditengarai merupakan hasil dari krisis minyak (pasokan terganggu karena embargo dan melambungkan harga minyak dunia), kedua periode punya kemiripan yang kental, yakni didahului serangkaian stimulus fiskal dan moneter yang masif pada beberapa tahun sebelumnya.
Namun, satu hal yang membedakan periode stagflasi tersebut dengan masa kini adalah menyoal ekspektasi inflasi jangka panjang. Strategi kebijakan moneter dulu belum semaju sekarang. Sekitar tiga dekade terakhir, bank sentral negara maju dan diikuti negara berkembang mulai melihat ekspektasi inflasi sebagai jangkar bagi outlook perekonomian jangka panjang.
Sebagai contoh, The Fed menargetkan inflasi di AS secara umum di level yang rendah (2,0 persen) sebagai proyeksi jangka panjang. Betapapun gejolak dari sisi harga komoditas silih berganti mengganggu kestabilan inflasi, The Fed akan berupaya mengembalikan pertumbuhan harga ke arah jangka panjangnya melalui pengetatan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah krisis energi saat ini dapat menggiring perekonomian global ke arah stagflasi seperti periode 1970-an? Atau apakah justru tekanan inflasi adalah transitory atau bersifat sementara?
Penulis mewacanakan skenario yang lebih mengedepankan realitas saat ini, yakni dunia mungkin akan masuk ke dalam labirin stagnasi tetapi tanpa inflasi yang berlebihan dalam beberapa tahun ke depan.
Secara umum penulis melihat berbagai faktor yang mendukung narasi tersebut seperti situasi geopolitik yang berbeda di masa lampau dengan sekarang, peta rantai pasokan global yang sudah melibatkan banyak wilayah, pasar konsumen yang terus berkembang, serta perbedaan ekspektasi inflasi di periode stagflasi pada 4—5 dekade lalu dengan kondisi sekarang seperti yang sudah diutarakan sebelumnya.
Dalam kaitan dengan tesis stagnasi yang dimaksud, penulis melayangkan satu analogi yang cukup relevan. Jika kita membayangkan kondisi resesi akibat Covid-19 seperti seseorang yang sedang kelaparan, kita harus selektif memberi makanan jika tidak ingin orang tersebut mengalami refeeding syndrome.
Itu adalah gejala penyakit yang timbul dari kegagalan tubuh menyesuaikan metabolisme secara tiba-tiba, yang pada kasus berat, asupan makanan yang berlebihan dapat berujung pada kematian.
Pada praktiknya saat ini alur rantai pasokan global yang abnormal diperkirakan tetap berlangsung paling tidak sampai akhir tahun. Maka dari itu penduduk AS harus membayar dengan lebih mahal segala macam barang impor dari China untuk kebutuhan liburan Natal. Pasokan yang semakin sedikit juga akan ditemui untuk barang-barang mulai dari perlengkapan dapur, elektronika, bahan-bahan industri otomotif sampai dengan cip.
Kabar buruk lainnya, fenomena ini tidak akan hanya terjadi antar dua perekonomian terbesar dunia, karena dengan semakin terdiversifikasinya rantai pasokan global serta pasar konsumen, seluruh dunia dapat terjangkit gejala yang sama.
Dengan kata lain, 2022 akan menjadi tahun ‘pemanasan global’. Terkait dengan refeeding syndrome, suka tidak suka bank sentral harus memikir ulang pandangan bahwa inflasi saat ini bersifat transitory.
Skenario bahwa inflasi yang tinggi bisa saja bertahan lebih lama harus tetap terbuka. Jika bank sentral tetap memaksakan kebijakan moneter ekspansif, sama saja dengan memberi makan berlebihan orang kelaparan yang implikasi secara makroekonominya dapat sangat fatal.
Bukan tidak mungkin perekonomian akan terjebak ke dalam kondisi hyperinflation yang pada gilirannya akan memerlukan campur tangan kebijakan moneter ketat yang luar biasa ‘menyakitkan” dan menyebabkan ongkos sosial yang tinggi.
Seperti mimpi buruk AS yang terjadi pada akhir 1970-an. Penulis pun memperkirakan banyak otoritas moneter yang akan menormalisasi kebijakan moneternya dan menekan balik tren pemulihan.
Stagnasi pertumbuhan ekonomi merupakan skenario yang relatif lebih realistis dalam jangka menengah. Tapi apakah proyeksi tersebut akan diiringi dengan liarnya pergerakan inflasi? Reaksi dan strategi kebijakan tiap-tiap bank sentral yang akan menjadi titik tumpu analisanya.
Semakin tanggap dan fleksibel otoritas moneter untuk beradaptasi dengan ekspektasi dan perkembangan data berjalan, gejolak dan shock serta fluktuasi berlebihan dalam perekonomian dapat lebih dikendalikan.
Untuk saat ini, kita harus bersiap ke situasi di mana pakaian dikemas kembali karena bulan madu akan segera selesai. Semangat!