Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah berencana mulai menerapkan penggunaan neraca komoditas pada tahun depan. Hingga saat ini, peraturan presiden mengenai hal tersebut masih dalam tahap harmonisasi.
Namun demikian, dari perspektif pelaku usaha, pemberlakuan kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan ekses negatif bagi aliran investasi ke Indonesia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan dalam konteks tata niaga ekspor-impor yang berkaitan dengan neraca komoditas, ada mekanisme wajib lapor kebutuhan dan verifikasi data.
Dalam kacamata investor, hal tersebut tampak seperti mekanisme tambahan di luar perizinan ekspor-impor yang selama ini telah berjalan.
"Jadi ini bukan izin tetapi menjadi semacam izin yang menjadi bagian dari administrasi perizinan. Kemudian sifatnya wajib, dan ada sanksinya," kata Firman kepada Bisnis, Minggu (14/11/2021). ]
Padahal, lanjutnya, peluang ekspansi investasi asing semakin terbuka didorong sejumlah kondisi di luar Indonesia, seperti lockdown ketat di Vietnam dan krisis energi di China.
Firman mengatakan dengan tetap beroperasinya pabrik-pabrik di masa pembatasan, ada kepastian pasokan ke negara-negara pelanggan. Hal inilah yang menjadi daya tarik Indonesia dibandingkan dengan sejumlah negara pesaing lain terutama di regional Asean.
Namun, konsistensi kebijakan pemerintah menjadi tantangan ke depan jika ingin tetap mempertahankan daya tarik investasi. Selain itu, gangguan operasi akibat pembatasan di Vietnam juga bersifat sementara.
Di sisi lain, negara itu telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa sehingga menjadikan bea masuk ke Benua Biru lebih kompetitif. Hal itu dapat menjadi dapat menjadi tantangan baru bagi daya saing industri alas kaki Indonesia.
"Kalau mereka [Vietnam] bisa mengatasi pandemi Covid-nya, bisa saja nanti menjadi kendala bagi kita, karena kita belum ada perjanjian perdagangan bebas dengan UE sehingga tarif bea masuk kita tidak kompetitif dengan Vietnam," jelas Firman.