Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelabelan Lolos Uji Aman Kemasan Pangan Berimbas Pada Konsumen dan Iklim Investasi

Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan membuat pelabelan uji lolos batas aman kemasan berpotensi meresahkan konsumen dan industri. Pasalnya, dengan penambahan label baru itu, bisa dipastikan akan menyebabkan harga produk pangan kemasan itu menjadi naik.
Ilustrasi air minum/Reuters-Lucy Nicholson
Ilustrasi air minum/Reuters-Lucy Nicholson

Bisnis.com, JAKARTA - Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan membuat pelabelan uji lolos batas aman kemasan berpotensi berimbas kepada konsumen dan industri. Pasalnya, dengan penambahan label baru itu, bisa dipastikan akan menyebabkan harga produk pangan kemasan itu menjadi naik.

Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Hermawan Seftiono menilai bahwa sebenarnya semua produk pangan yang sudah memiliki ijin edar sudah diuji keamanannya. Artinya, produk dan kemasan pangan yang digunakan itu sudah sesuai pedoman dan kriteria yang ditetapkan BPOM dan Kementerian Perindustrian.

“Untuk keamanan pangan, itu sudah ada aturannya, yaitu wajib SNI (Standar Nasional Indonesia). Jadi, jika sudah memiliki SNI, produk pangan itu sudah sesuai dengan kriteria aman untuk digunakan oleh konsumen,” ujar Hermawan Seftiono seperti keterangan dikutip, Senin (8/11).

Menurutnya, semua produk pangan itu sudah ada kriteria keamanannya masing-masing, baik  secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Jadi pengusaha pangan pasti harus mengikuti standar keamanan pangan itu terlebih dulu sebelum produk mereka diedarkan, begitu juga terkait kemasan yang digunakan.

“Makanya, semua produk pangan itu perlu memiliki sertifikat SNI sehingga aman untuk dikonsumsi,” ujar Hermawan yang juga Kepala Prodi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Trilogi dan peneliti di bidang pangan tersebut.

Dia menilai, penambahan label baru tersebut nantinya malah akan menambah biaya bagi industri untuk melakukan pengujian dari kemasan. “Pas awal-awal mereka harus mengeluarkan biaya untuk menguji kemasannya, kemudian untuk periode tertentu misalnya setiap 6 bulan atau setahun, mereka juga harus mengujinya lagi untuk dikonfirmasi aman atau tidak. Itu kan biayanya tidak sedikit,” katanya.

Selain itu, kata dia, tidak ada juga jaminan bahwa penambahan label baru itu nantinya membuat para konsumen menjadi lebih nyaman terhadap produk pangan tersebut. “Bisa saja kata-kata yang dibuat pada label itu nantinya malah membuat konsumen menjadi takut menggunakan produknya,” ujarnya.

Pakar Kimia ITB, Ahmad Zainal mengatakan hal senada. Dia menilai bahwa jika pun pelabelan itu harus dilakukan, BPOM harus memberlakukannya pada semua produk dan tidak terfokus hanya pada satu produk tertentu saja.

“BPOM harus fair juga terkait pelabelan itu, karena makanan dan minuman kan tidak cuma galon. Ini ada aturan BPOM-nya yang menyebutkan bahwa jaminan keamanan pangan itu dilakukan pada semua produk pangan,” tuturnya.

Menurut Zainal, pelabelan itu secara scientific sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk pangan yang sudah memiliki ijin edar, termasuk produk AMDK, sudah aman untuk digunakan.

Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman. Menurutnya, kalau pelabelan itu diberlakukan, yang dirugikan justru para konsumen, karena pelabelan itu jelas akan menambah biaya.

“Walaupun industri itu nambah biaya, tapi ujungnya itu akan dibebankan lagi kepada para konsumen. Kalau dari sisi itu, pasti akan ada penolakan nanti dari pihak konsumen sendiri,” ujarnya.

Sementara itu Pengusaha Fransiscus (Franky) Welirang justru meminta BPOM untuk meneliti kemungkinan adanya motif persaingan usaha, dibalik upaya mendorong pelabelan kandungan BPA pada kemasan air kemasan galon guna ulang.

Pasalnya, wacana pelabelan itu muncul karena adanya isu mengenai bahaya Bisfenol A (BPA) dalam galon guna ulang yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. Pihaknya pun melihat hal itu lebih mengarah kepada persaingan usaha.

Oleh karenanya dia sangat menyayangkannya, mengingat isu tersebut bisa merusak iklim investasi di Indonesia. “Ini semua masalah persaingan yang menjatuhkan perusahaan yang memproduksi galon guna ulang yang saat ini begitu banyak di Indonesia,” ujar Franky.

Kalaupun berubah ke PET, menurutnya,  dimana hanya ada 2-3 merk saja yang menguasainya, itu tidak akan mampu untuk melayani kebutuhan AMDK secara nasional. “Apakah mereka mampu melayani kebutuhan AMDK nasional?” katanya.

Dia mengatakan BPOM juga seharusnya sudah mengerti akan hal itu. “Saya kira BPOM juga mengerti terhadap hal tersebut. Jadi, seharusnya tidak membuat kebijakan yang justru menjatuhkan industri ini,” tegasnya.

Karenanya, dia mengajak semua pihak untuk bisa berpikir secara wajar dan logik dalam menangani pasar AMDK galon guna ulang ini. “Mari kita berpikir secara wajar dan logik dalam menangani masalah pasar AMDK tersebut. Tidak bertindak secara emosional dan mematikan ekonomi. Karena rangkaiannya panjang dan banyak tenaga kerja yang terdampak,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper