Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia memiliki peluang mengembangkan industri bernilai tambah dengan memanfaatkan regional value chains atau rantai nilai regional di kawasan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
“Kemampuan memasuki rantai nilai regional RCEP akan membuka kesempatan lebih besar bagi Indonesia untuk terhubung dengan global value chains atau rantai nilai global. Dalam hal ini, kata kunci bagi Indonesia adalah mendorong masuknya investasi, baik dari luar maupun dari dalam negeri ke sektor manufaktur yang dirancang memanfaatkan kawasan RCEP,” kata Board of Directors Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Donna Gultom dalam siaran pers, Senin (8/11/2021).
RCEP, lanjutnya, memberikan peluang meningkatkan kesejahteraan. Namun, RCEP juga berisiko meningkatkan defisit neraca perdagangan Indonesia dengan negara anggota RCEP lainnya.
Untuk itu, Indonesia perlu mempersiapkan strategi berupa structural/policy adjustment untuk mendorong berkembangnya industri manufaktur sehingg tak hanya memasok pasar dalam negeri Indonesia, tetapi juga pasar negara-negara anggota RCEP maupun non-RCEP.
Mengacu pada kajian Kementerian Perdagangan, Donna mengatakan terdapat risiko peningkatan defisit perdagangan sebesar US$491,46 juta, meski RCEP mampu meningkatkan kesejahteraan Indonesia sebesar US$1,52 miliar.
Sementara itu, kajian Kementerian Keuangan pada 2019 menunjukkan bahwa dampak RCEP bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu signifikan, atau 0,05 persen. Hal ini bisa terjadi apabila Indonesia tidak melakukan structural atau policy adjustment melalui rencana aksi yang nyata bagi peningkatan daya saing.
Baca Juga
Meskipun kecil, hal ini tetap lebih bagus dibandingkan jika Indonesia tidak bergabung. Tanpa RCEP, Indonesia justru akan tertinggal dari negara-negara anggota RCEP lain dan kemungkinan mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi negatif (-0,07 persen)
“Isu neraca perdagangan memang selalu menghantui Indonesia karena ada anggapan kalau nilai impor meningkat berarti industri dalam negeri terancam dan tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Donna.
Namun, dia mengatakan meningkatnya impor tidak selalu berarti buruk bagi perekonomian suatu negara. Apabila impor dilakukan untuk mendorong produktivitas industri dalam rangka peningkatan nilai tambah, impor bisa berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Karena itu, Donna mengatakan penting bagi Indonesia untuk memastikan impor menghasilkan nilai tambah melalui industri yang berkembang. Termasuk mendorong berkembangnya industri yang akan memasok produk antara (intermediate goods) yang pasti akan diserap industri manufaktur lanjutan, baik di dalam maupun di luar negeri (ekspor).
Donna lebih lanjut menyampaikan bahwa Indonesia perlu menyiapkan kebijakan untuk mendorong masuknya investasi ke sektor industri yang berorientasi intermediate products. Dengan demikian, meski industri yang tumbuh akan meningkatkan impor, namun dapat dipastikan bahwa kinerja ekspor Indonesia juga akan meningkat.
Kehawatiran akan meningkatnya defisit perdagangan tidak terjadi karena intermediate products yang dihasilkan akan diekspor. Dalam hal ini, kontribusi tambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan dalam kerangka RCEP akan bersumber dari peningkatan nilai tambah.