Bisnis.com, JAKARTA — Presiden RI Joko Widodo mengesahkan peraturan presiden tentang nilai ekonomi karbon atau carbon pricing. Pemerintah menilai bahwa upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat berjalan melalui pendekatan berbasis pasar.
Hal tersebut disampaikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dalam keterangan resmi pada Selasa (2/11/2021). Namun, hingga pukul 12.00 WIB, dokumen perpres terkait belum dipublikasikan baik oleh Kementerian Keuangan maupun oleh Kementerian Sekretariat Negara.
BKF menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah menyampaikan pengesahan Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) itu dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, Skotlandia. Indonesia mengklaim sebagai penggerak pertama (first mover) penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar (market) di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Kepala BKF Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menilai bahwa upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat berjalan melalui komando dan kendali serta pendekatan berbasis pasar (market-based instruments/MBI). Menurutnya, regulasi berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan NEK atau carbon pricing.
Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting, yakni perdagangan karbon dan instrumen nonperdagangan. Instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, sedangkan instrumen nonperdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP).
"Pemerintah sangat memahami bahwa untuk mencapai target NDC diperlukan inovasi-inovasi instrumen kebijakan. Penetapan Perpres tentang NEK ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060," ujar Febrio pada Selasa (2/11/2021) yang juga berada di Glasgow dalam rangka penyelenggaraan COP 26.
Baca Juga
Menurutnya, instrumen NEK menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang dapat menjadi momentum menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Dia pun berharap investasi hijau global akan datang ke Indonesia, di samping kesempatan untuk mendapatkan pembiayan hijau global berbiaya rendah.
Febrio menjelaskan bahwa untuk mendukung pencapaian target NDC, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan fiskal seperti pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian maupun lembaga, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD), serta inovasi-inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One, dan Green Climate Fund (GCF).
Kebijakan lain yang ditempuh adalah implementasi pajak karbon melalui penetapan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Febrio mengklaim bahwa implementasi tersebut menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon, seperti Inggris, Jepang, dan Singapura.