Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan bahwa upaya Indonesia dalam transisi menuju ekonomi hijau memerlukan bantuan dan partisipasi dari komunitas internasional.
Suahasil mengatakan salah satu caranya adalah dengan pembiayaan internasional melalui penerbitan obligasi hijau (green bonds) dan obligasi global bertema Sustainable Development Goals (SDG Bonds). Opsi pembiayaan ini dipilih karena memiliki biaya yang rendah bagi pemerintah RI.
"Jika komunitas atau investor internasional ingin membantu negara berkembang seperti Indonesia untuk bertransisi ke ekonomi hijau atau sesuai SDGs, maka pembiayaan internasional adalah caranya. Biarkan negara berkembang seperti Indoneisa menerbitkan obligasinya, tapi dengan biaya atau kupon yang lebih rendah," jelas Suahasil pada webinar Alumni AS "Road to Glasgow: Indonesia's Contribution to COP26", Kamis (28/10/2021).
Wamenkeu mengatakan pemerintah akan terus menerbitkan obligasi hijau maupun SDG dan pada waktu yang sama, terus meminta partisipasi dari komunitas internasional.
"Kami membutuhkan dukungan anda [komunitas internasional]. Dukungan itu bisa dengan [membeli instrumen tersebut] dengan kupon lebih rendah untuk negara-negara yang sedang mempromosikan transisi hijau dan pembangunan berkelanjutan," ucap Suahasil.
Di sisi lain, Indonesia terus mendorong pelibatan negara-negara maju dalam mendukung negara-negara berkembang untuk bertransisi menuju ekonomi ramah lingkungan. Contohnya, menjabat sebagai Ketua (Co-Chair) dari Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk Aksi Iklim 2021-2023.
Baca Juga
Kesempatan untuk memimpin koalisi tersebut dimanfaatkan untuk mendorong kontribusi para otoritas fiskal dunia terkait dengan aksi iklim melalui kebijakan perpajakan serta belanja dan pembiayaan pemerintah.
Selain itu, Indonesia turut berpartisipasi dalam forum internasional lainnya seperti Forum G20 di Roma dan COP26 di Glasgow, untuk mendorong isu-isu perubahan iklim dan pembiayaan berkelanjutan.
"Apa berikutnya untuk Indonesia? Perlu saya sampaikan, bahwa Indonesia tidak memulai dari nol [terkait penanganan perubahan iklim] atau dari kertas putih," ucap Suhasil.
Seluruh upaya tersebut dilakukan oleh Indonesia untuk memenuhi kontribusinya dalam pengurangan emisi sebesar 29 persen dari usaha sendiri, dan 41 persen dengan kontribusi internasional.
Sektor yang paling menjadi fokus adalah sektor energi, khususnya listrik, yang sangat bertumpu pada pembangkit listrik dari batubara dan bahan bakar fosil. Namun, masalahnya sejumlah PLTU di Indonesia sudah memiliki kontrak dengan pemerintah untuk hingga maksimal 20 tahun ke depan.
Di sisi lain, keseimbangan harus tercapai antara upaya bertransisi menuju energi hijau dan menghindari bahaya dari iklim usaha dan bisnis di Tanah Air. Pada urusan inilah, pembiayaan internasional dan berkelanjutan memainkan peran dalam mendukung transisi ke produksi energi terbarukan, untuk mengurangi emisi karbon.
"Harus ada pihak yang akan membayar biaya penutupan pembangkit listrik batubara, sedangkan kontraknya masih efektif. Ini adalah urusan perhitungan bisnis, terkait dengan berapa kompensasi yang harus kita sediakan. Ini bukan hanya tentang membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan, tapi juga menjaga iklim dunia usaha kita," pungkas Suahasil.