Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pengusaha dalam negeri mengutarakan kekhawatiran yang sama dengan pemerintah dalam menghadapi paket kebijakan European Green Deal (EGD). Implementasi kebijakan itu dikhawatirkan bakal menjadi hambatan perdagangan baru.
“Sebetulnya concern ini bukan hanya dirasakan pelaku usaha Indonesia, tetapi juga oleh banyak negara berkembang,” kata Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani, Kamis (21/10/2021).
Shinta menjelaskan bahwa paket kebijakan tersebut juga menjadi perhatian United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Lembaga di bawah PBB itu sempat membuat laporan mengenai salah satu kebijakan dalam Green Deal carbon border adjustment measures (CBAM) atau pajak karbon lintas negara.
Kebijakan tersebut dirancang sebagai payung pengenaan pajak impor tambahan terhadap produk ekspor negara lain yang masuk ke pasar Uni Eropa. Pajak tambahan berlaku bagi produk yang dianggap berdampak buruk bagi lingkungan.
“Dalam laporan itu, UNCTAD menyampaikan bahwa ada potensi kebijakan tersebut akan merugikan ekspor negara berkembang ke Uni Eropa,” katanya.
Kebijakan tersebut berisiko menciptakan keberpihakan terhadap ekspor negara maju. Kebijakan tersebut dinilai memicu ketidakadilan perdagangan dan ekonomi karena negara berkembang cenderung tertinggal dalam kepemilikan teknologi dan transisi ekonomi yang netral karbon.
“Karena itu kami mengapresiasi pemerintah yang mengangkat isu ini dalam pertemuan dengan Uni Eropa, tanpa kebijakan ini pun kami sudah berkali-kali tersandung isu sustainability di pasar Uni Eropa,” kata Shinta.
Isu keberlanjutan yang mengemuka dalam perdagangan Indonesia dan Uni Eropa kerap berujung pada diskriminasi perlakuan dan sengketa. Shinta menilai, Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan berdampak negatif terhadap ekspor ke Uni Eropa.