Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha di Indonesia perlu lebih mencermati aspek perdagangan berkelanjutan (sustainable trade), seiring dengan munculnya standar-standar baru yang diterapkan negara tujuan.
“Isu ini menjadi salah satu tantangan bagi kita, karena kalau kita tidak memenuhi kriteria dalam Green Deal, produk-produk ekspor kita tidak bisa masuk ke sana,” kata Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio, Kamis (21/10/2021).
Menurutnya, tantangan yang dihadapi Indonesia kini terletak pada terciptanya ekosistem yang mengarah pada pemenuhan aspek-aspek keberlanjutan.
Indonesia pun bisa tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain jika tak melakukan penyesuaian dalam pengembangan produk ekspor ke depan.
“Jadi bagaimana kita mempromosikan dan mengembangkan produk-produk yang memenuhi standar lingkungan di dalam negeri dan melatih para pelaku industri agar bisa berdaya saing ketika melakukan penetrasi pasar ekspor,” ujarnya.
Andry menilai bahwa regulasi di Indonesia mulai mengakomodasi terciptanya aktivitas manufaktur yang mempertimbangkan aspek lingkungan. Contohnya adalah penerapan pajak karbon yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Regulasi ini bisa mendorong agar produk-produk yang dihasilkan memenuhi aspek keamanan lingkungan dan keberlanjutan. Tapi menurut saya tentu tidak bisa hanya satu-dua kementerian yang berpikir seperti ini,” katanya.
Selain itu, Andry mengatakan usaha skala mikro dan kecil menengah (UMKM) berisiko menghadapi kendala dalam pemenuhan standar-standar keberlanjutan dengan kapasitasnya yang terbatas.
“Saya khawatir justru UMKM yang tidak catch up. Justru nanti produk potensial ekspor tidak bisa masuk ke negara tujuan,” kata Andry.