Bisnis.com, JAKARTA – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang terus dikebut dan diguyur pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) disebut sama seperti pesawat-pesawat milik PT Dirgantara Indonesia besutan B. J. Habibie.
Menurut Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas, pengerjaan proyek tersebut sebenarnya bukan hal yang mendesak untuk dilakukan. Kehadiran kereta cepat itu hanya sekedar simbol kemajuan bangsa.
"Itu sebetulnya sama dengan proyek industri pesawat terbang Habibie dulu yang maksudnya dulu untuk menunjukkan kita sebagai bangsa yang maju tetapi akhirnya pesawat itu hanya ditukar dengan beras ketan, tidak bisa menghasilkan devisa yang lebih tinggi," katanya saat ditemui di kantor Instran, Selasa (12/10/2021).
Darmaningtyas menilai bila kereta cepat ini selesai dan beroperasi, jumlah penumpangnya juga tidak akan mencapai target sesuai dengan harga tiket yang ditawarkan.
Terlebih, saat ini banyak pilihan moda angkutan lain yang bisa digunakan untuk bepergian dari Jakarta ke Bandung dan juga sebaliknya.
"Menurut saya penumpangnya juga tidak akan mencapai target sesuai dengan harga tiket. Bisa saja penumpangnya nanti penuh karena harga tiketnya dimainkan agar orang mau naik tetapi kan itu tidak akan mencapai kelayakan bisnis," sebutnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, dia menilai keputusan pemerintah akhirnya merestui penggunaan APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah menghindari rasa malu bila nanti berujung mangkrak seperti proyek Hambalang. Apalagi, nilai yang sudah diivestasikan sejauh ini mencapai puluhan triliun.
"Sekarang kenapa pemerintah harus menalanginya karena pemerintah tidak pengen nanti ini jadi ledekan baru seperti Hambalang. Tapi sebenarnya ini blunder juga bagi pemerintah. Dengan nombokin itu memang tidak jadi seperti Hambalang, tetapi itu akan jadi beban negara seumur hidup karena menurut saya penumpangnya juga tidak akan mencapai target," imbuhnya.
Sebagai informasi, di balik sukses yang diraih kini, PT DI pernah melalui masa-masa kelam, bahkan terancam bangkrut. Kondisi ini pernah terjadi ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi pada 1997 hingga 2003.
Saat itu, salah satu produk kebanggaan Indonesia, yakni CN-250 Gatotkaca hampir tak pernah dilirik sejumlah negara kecuali TNI. Bukan karena produknya yang cacat, melainkan proses sertifikasi yang terhambat akibat masalah keuangan.
Sejak berdiri, perusahaan ini memang tak pernah lepas dari subsidi. Hampir seluruh kegiatan mulai proses riset, desain hingga produksi diambil dari kas pemerintah. Alhasil, ketika krisis ekonomi menerpa, pemerintah tak lagi punya uang yang tersimpan, dan membuat PT DI mencari dana sendiri.
Hanya saja, sistem manajemen yang buruk serta jumlah karyawan yang membengkak membuat perusahaan ini terus mengalami kerugian. Akibatnya, mereka tak pernah mampu menyelesaikan proses sertifikasi dan membuat pesawat-pesawat terus berada di gudang hingga berkarat.
Tak lama berselang, beras-beras yang disimpan di dalam gudang milik Bulog terus berkurang. Kondisi ini membuat pemerintah berpikir keras agar gudang tersebut kembali terisi, sehingga rakyat tak kekurangan bahan pangan dan harga beras bisa dikendalikan.
Kemudian, B.J. Habibie yang juga merupakan pendiri IPTN atau kini PT DI memang berhasil menjual pesawatnya kepada Thailand, tetapi bayaran yang diterima adalah beras ketan. Cara ini memang berhasil, tetapi tak mampu memperbaiki kondisi keuangan perusahaan yang memburuk.
Penukaran pesawat dengan produk beras tak hanya terjadi di era B.J. Habibie saja. Sebab, hingga dua presiden berikutnya juga melakukan kebijakan serupa demi mendapatkan beras. Apalagi, stok beras saat itu tidak mencapai target mengingat musim kemarau panjang yang melanda Indonesia.