Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat Tetap Anjurkan Pendanaan Alternatif untuk Kereta Cepat Jakarta - Bandung

Menyusul rencana pemerintah mendanai Kereta Cepat Jakarta - Bandung dengan APBN, pengamat Instran tetap anjurkan pendanaan dilakukan dengan cara alternatif.
Aktivitas proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di salah satu tunnel atau terowongan di kawasan Tol Purbaleunyi KM 125, Cibeber, Cimahi Selatan, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). Bisnis/Rachman
Aktivitas proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di salah satu tunnel atau terowongan di kawasan Tol Purbaleunyi KM 125, Cibeber, Cimahi Selatan, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Institut Studi Transportasi (Instran) menyayangkan langkah pemerintah yang pada akhirnya memutuskan untuk mendanai proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung (KCJB) menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jauh berbeda dengan komitmen awal pendanaan proyek.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menjelaskan penyelesaian proyek kerja sama dengan pemerintah China tersebut memang terletak kepada permodalan. Proyek tersebut sedari awal dapat berjalan apabila terdapat pendanaan untuk pengadaan capital investment / capex. Tak mengherankan jika pada akhirnya sering mengalami kemoloran lantaran konsorsium dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pemerintah belum memiliki modal yang cukup.

Pada akhirnya, kebijakan pemerintah membiayai lewat APBN, sebutnya merupakan cara politis dari pemerintah mempercepat proyek berjalan. Dia pun tak memungkiri selama terdapat modal apapun bentuknya termasuk injeksi dana segar berupa PMN, proyek tersebut dapat selesai tepat waktu. Namun, dia masih mempertanyakan keterlibatan audit dari pemerintah misalnya auditor pemerintah baik Kementerian Keuangan (Kemenkeu) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Memang karena pandemi semua rencana bisa berubah semua termasuk kesehatan keuangan BUMN yang masuk dalam konsorsium KCIC tersebut. Tapi pada akhirnya amat disayangkan bila APBN dilibatkan yang berbeda dengan komitmen awal Pemerintah bahwa hal ini adalah B to B jadi tiada keterlibatan dana pemerintah,” ujarnya, Minggu (10/10/2021).

Menurutnya, alangkah lebih baik apabila pemerintah tetap mencari pendanaan kreatif. Dia mencontohkan salah satunya dengan membuka anggota konsorsium baru dari perbankan. Baik bank lokal/BUMN atau bank asing sebagai penjamin atau pendana proyek atau sebagai investor. Dia juga berpendapat hal tersebut dapat terlaksana kalau sudah ada political will dari pemerintah.

“Kalau bank BUMN pasti banyak yang mau tapi karena memang tidak dilibatkan dari awal. Banyak yang mau karena bukan bisnis transportasi saja ada bisnis TOD juga. Kalau ada political will pasti mau, karena kalau bukan politis PT KAI, Wika, Jasa Marga dan PTPN belum tentu juga mau garap proyek ini,” imbuhnya.

Deddy juga menyarankan agar pembangunan Kereta Cepat Jakarta – Bandung masih perlu belajar banyak dari ketidaksuksesan proyek Kereta Api Bandara dan Light Rail Transit (LRT) Sumatera Selatan (Palembang).

Deddy menilai pembelajaran yang dapat diambil dari minimnya okupansi KA Bandara Jakarta kendati lokasinya berada di tengah kota (Sudirman). Tak hanya itu, KA bandara juga telah terintegrasi fisik dengan KRL dan BRT masih minim okupansinya. Menurutnya, membangun infrastruktur transportasi KA tidak hanya membangun atau mempersiapkan sarana dan prasarana saja namun wajib mempersiapkan calon penggunanya juga. Menentukan profil pengguna yang akan menggunakan kereta cepat secara pasti dalam skema transportasi berkelanjutan, harus dikaji secara holistik.

Dia memprediksikan ada 4 segmen calon pengguna yang dibidik oleh proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung, yaitu mereka yang terbiasa melakukan perjalanan dari Jakarta-Bandung rutin. Diantaranya yakni pengguna eksisting KA Parahyangan, pengguna mobil pribadi, pengguna travel dan pengguna bus umum. Namun, kata dia, apabila yang dibidik nantinya segmen pengguna jalan tol akan sulit untuk menyasar keberangkatan kereta cepat dari Halim. Kemungkinan besar hanya masyarakat dengan radius 10 km dari stasiun kereta Cepat Jakarta-Bandung di Halim yang paling berpeluang menggunakan kereta cepata tersebut. Sementara masyarakat yang berada di Jakarta Pusat, Jakarta Barat atau Jakarta Selatan akan lebih suka menggunakan mobil pribadi atau travel-travel yang telah ada.

“Jangan sampai terjadi yang disasar pengguna Kereta Cepat adalah segmen pengguna KA Parahyangan dan juga jangan pula KA Parahyangan ditutup guna mengalihkan penumpangnya ke Kereta Cepat. Mengingat Kereta Cepat dan KA Parahyangan segmentasinya berbeda,” ujarnya.

Deddy menuturkan tarif yang dibanderol kereta cepat sejak 2016 adalah Rp200.000 bila tidak berubah nantinya sedangkan tarif berada di kisaran KA Parahyangan Rp75.000 - Rp120.000. Dengan demikian dapat dipetakan bahwa kereta cepat menyasar segmentasi sosial menengah ke atas dan KA Parahyangan untuk sosial menengah ke bawah.

Sementara itu, dari sisi kebutuhan transportasi pun saat ini sampai 10 tahun mendatang belum mendesak untuk pilihan HSR Jakarta-Bandung, karena masih ada jalan tol bahkan tol layang , jalan raya reguler dan KA Parahyangan (KA legenda Bumi Priangan). Dia berpendapat akan lebih efisien apabila lintas KA Parahyangan tersebut dilakukan revitalisasi jalur KA. Mengingat pada 1995 Perumka pernah meluncurkan program JB 250 dengan nama KA Argo Gede, yang traveling time hanya 2,5 jam Jakarta Gambir – Bandung, namun sekarang mencapai 3 jam lebih.

Sebetulnya DJKA Kemenhub telah mempunyai kajian revitalisasi lintas eksisting Jakarta-Bandung yang memungkinkan KA Parahyangan dapat menempuh waktu perjalanan 2 jam saja. Trase jalur KA yang berkelok-kelok antara Purwakarta – Padalarang diubah shortcut (lintas lurus) sehingga travel time dapat lebih cepat dengan rencana biaya sekitar Rp6 triliun.

Indonesia telah memilih China yang menggarap proyek HSR ini karena memang mahal bila mencontoh persis prasarana HSR di sana. Prasarana HSR di China lebih banyak membangun jalur rel layang ( rail elevated) sehingga sangat mahal biayanya. Hal ini akan berbeda bila kita membangun at grade ( sebidang dengan tanah / tanpa elevasi ) seperti Shinkansen di Jepang dan TGV di Perancis.

Kedua proyek di luar negeri tersebut menggunakan prasarana jalan rel HSR nya at grade sehingga biaya prasarana dapat ditekan murah karena tidak membangun rel layang. Sebetulnya, kata dia, mayoritas trase Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini berada di lahan jalan tol Jasa Marga Secara otomatis trase HSR telah steril sama halnya jalan tol yang steril dari lalu lintas non tol, sehingga apabila relnya HRS dibangun at grade tetap aman.

“Finalisasinya kereta cepat tersebut dapat terintegrasi dengan moda LRT Jakarta di Halim dan di Padalarang terintegrasi dengan moda KA lokal ke Bandung kalau berhasil tentunya menjadi akan contoh paket integrasi antar moda terbaik. Paket integrasi antar moda LRT, KA cepat dan KA Lokal,” tekannya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper