Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Sentral AS, China, Uni Eropa dan Jepang Bersiap Hadapi Inflasi

Bank sentral dari berbagai belahan dunia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi potensi kenaikan laju inflasi yang lebih cepat dari perkiraan.
Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Selasa (13/8/2019). Bloomberg/Andrew Harrer
Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Selasa (13/8/2019). Bloomberg/Andrew Harrer

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah bank sentral mulai menentukan langkah untuk menghadapi inflasi yang datangnya lebih cepat dari perkiraan. Pada saat yang sama, kembalinya aktivitas perekonomian membuat permintaan juga meningkat sehingga mendorong harga komoditas terus terkerek.

Dengan percepatan laju datangnya inflasi, Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) diperkirakan memperlambat program pembelian asetnya.

Gubernur The Fed Jerome Powell yang masih menanti penunjukan kembali dirinya telah memutuskan untuk memangkas nilai bantuan untuk pandemi Covid-19.

Kepala bank sentral AS ini akan memulai proses tapering off secepatnya pada November dan meminta masyarakat mengantisipasi tingginya inflasi dari dugaan awal.

Namun, Powell berusaha untuk tidak membuat orang-orang khawatir bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga, meski ada perbedaan pendapat dari pembuat kebijakan untuk tahun depan, menurut proyeksi kuartalan yang mereka rilis pada 22 September.

Kebijakan tersebut juga tergantung pada pergantian jabatan ini. Presiden AS Joe Biden memiliki kesempatan untuk memilih tiga gubernur lain yang menduduki kursi dewan The Fed di Washington. Keputusan tersebut kemungkinan akan dilakukan pada musim gugur nanti.

Sementara itu, dua pejabat daerah The Fed yang memiliki kecenderungan hawkish yakni Presiden The Fed Dallas Robert Kaplan dan Presiden The Fed Boston Eric Rosengren telah mundur setelah terlibat skandal trading pada 2020.

Analis Bloomberg Anna Wong mengatakan risiko inflasi yang tinggi akan meningkat lebih cepat dari perkiraan awal, yakni pada 2023.

"Namun, analisis kami terhadap pandangan para anggota FOMC [Komite Pasar Terbuka Federal] yang memberikan suara pada 2022 menunjukkan bahwa mayoritas lebih memilih timeline yang agak lebih akomodatif daripada yang diperkirakan median komite," kata Wong, dikutip dari Bloomberg pada Minggu (10/10/2021).

Terpisah, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) tengah menyusun pembaruan kebijakan moneter pada Desember seiring dengan target inflasi baru pada 2024. Macetnya rantai pasok global dan serangkaian faktor lainnya telah mengerek pertumbuhan harga, meskipun tekanan diperkirakan akan mereda pada tahun depan.

Presiden ECB Christine Lagarde telah memutuskan memperlambat laju pembelian obligasi untuk alokasi pandemi yang mencapai 1,85 triliun euro (US$2,2 triliun) pada kuartal IV/2021. Rencana tersebut diperkirakan akan berakhir pada Maret.

"Pertumbuhan upah tidak akan terjadi cepat sampai kapasitas cadangan yang signifikan di pasar tenaga kerja diserap. Itu akan membuat Dewan Gubernur ragu-ragu terhadap inflasi yang persisten dan mendorong peningkatan pembelian obligasi melalui Program Pembelian Aset," kata analis Bloomberg David Powell.

Gubernur Bank of Japan (BOJ) Haruhiko Kuroda kini harus bekerja dengan perdana menteri baru, Fumio Kishida untuk menuntun perekonomian negara lebih baik dalam menghadapi pandemi. BOJ dihadapkan pilihan apakah akan memperpanjang stimulus Covid-19 atau mengakhirinya pada Maret.

Namun, inflasi yang diprediksi masih di bawah target tampaknya belum akan membuat bank sentra Jepang mencabut stimulus pandeminya dalam waktu dekat.

Sementara itu, Bank Rakyat China mulai membatasi ekspansi kredit untuk mengantisipasi risiko finansial pada tahun ini, Namun, perekonomian mulai memberi sinyal perlambatan pada paruh kedua.

Hal itu mendorong bank sentral membuat perubahan mengejutkan pada Juli dengan mengurangi jumlah uang tunai, sebagian untuk membantu kebutuhan likuiditas bank dan juga untuk meningkatkan pinjaman guna membantu bisnis kecil yang terimbas oleh kenaikan harga komoditas.

Adapun, yang terbaru, krisis listrik juga telah berimbas pada aktivitas industri sehingga membuat rantai pasok global terganggu. Prospek yang lebih lemah itu berarti bank sentral kemungkinan akan kembali mengurangi rasio persyaratan cadangan dan bahkan mungkin menurunkan suku bunga kebijakannya.

"Kami memperkirakan Bank Rakyat China menjaga pelonggaran untuk meredam perlambatan. Penurunan suku bunga tidak mungkin dalam waktu dekat. Itu hanya akan memicu ketidakseimbangan keuangan yang ingin dihindari oleh pihak berwenang," ujarnya analis Bloomberg David Qu.

Sementara itu, Bank of Korea sudah mengambil langkah jauh di depan Federal Reserve dan beberapa rekan lainnya di negara maju untuk mulai membatasi stimulus pandemi setelah menaikkan suku bunga acuan dari rekor terendah 0,5 persen pada Agustus.

Adapun bank sentral Brasil telah meluncurkan kampanye pengetatan moneter paling agresif di dunia tahun ini dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 425 poin sejak Maret dan berjanji untuk membawanya ke tingkat yang "sangat membatasi" sampai proyeksi inflasi kembali mendekati target.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nindya Aldila
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper