Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha domestik mengantisipasi risiko kenaikan harga bahan baku industri yang diimpor dari China. Pasokan dari Negeri Panda bisa lebih mahal jika otoritas setempat menaikkan harga listrik untuk mengatasi krisis energi.
Seperti diketahui, China merupakan salah satu pemasok utama bahan baku dan penolong industri domestik. Sampai Juli 2021, total impor nonmigas dari China bernilai US$29,71 miliar, naik 39,11 persen secara tahunan.
“Yang perlu diantisipasi adalah kenaikan harga bahan baku, karena naiknya biaya produksi. Untuk kontrak yang sudah ada, harga belum terpengaruh karena fixed price, tetapi kontrak baru bisa lebih mahal,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Perdagangan Benny Soetrisno, Senin (4/10/2021).
Krisis energi di China dipicu oleh terbatasnya operasional pembangkit listrik di negara tersebut, imbas dari kerugian yang muncul akibat mahalnya harga batu bara.
Selama ini, listrik di China dijual dengan harga tetap yang terikat oleh regulasi ketat. Akibatnya, beberapa provinsi mulai menerapkan tarif listrik baru sebagai solusi.
Selain harga bahan baku, Benny juga memperkirakan ekspor barang dari sektor nonenergi ke China bisa terkoreksi. Terutama barang-barang yang dipakai untuk aktivitas produksi, seperti besi dan baja, serta minyak sawit.
“Untuk komoditas energi, seperti batu bara kemungkinan bisa naik ekspornya,” kata Benny.
Sementara itu, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan belum bisa memperkirakan lebih jauh dampak dari krisis energi di China terhadap pengiriman minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya.
Ekspor minyak sawit ke China pada Juli 2021 tercatat berjumlah 533.694 ton. Volume tersebut naik menjadi 805.198 ton pada Agustus 2021.
“Perlu dilihat dulu apakah sifat dari shortage sementara atau bisa berkepanjangan. Sejauh ini belum terlihat dampaknya,” kata Fadhil.