Bisnis.com, JAKARTA – Misi untuk beralih ke energi yang lebih bersih di masa depan dibayangi dengan risiko mahalnya biaya energi yang harus dikeluarkan masyarakat. Transisi secara total ke energi baru dan terbarukan (EBT) dinilai tidak menjadi hal yang ekonomis.
Anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim mengatakan bahwa transisi energi perlu disikapi dengan bijak oleh negara.
Pasalnya, pemerintah perlu menghindari risiko yang akan membebani perekonomian dan membebani konsumen akibat peralihan energi fosil ke EBT secara total.
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih membutuhkan energi yang murah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kalau paksakan dengan energi terbarukan seluruhnya konsekuensinya adalah energi terbarukan itu relatif lebih mahal dari pada katakanlah batu bara dan gas,” katanya dalam acara Masa Depan Energi Geothermal, Berita Satu, Kamis (30/9/2021).
Dalam praktik di seluruh negara, lanjut Herman, batu bara merupakan sumber yang paling murah untuk menghasilkan energi.
Baca Juga
Selain itu, penggunaan gas juga dapat menjadi solusi lain yang dapat digunakan untuk menciptakan energi murah.
Herman menuturkan, dalam kebijakan energi yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 disebutkan bahwa arah energi Indonesia dengan memaksimalkan EBT, meminimalkan bahan bakar minyak (BBM), mengoptimalkan penggunaan gas, dan amankan dengan batu bara.
Untuk itu, arah kebijakan energi tidak dapat seluruhnya dialihkan ke EBT, tetapi energi hijau tersebut harus tetap dikembangkan dengan ditopang oleh energi fosil.
“Kita mulai masuk ke negara industri dan itu didukung oleh energi murah. Kalau energi tidak murah nanti itu juga berdampak negatif pada pembangunan, karena Indonesia tindakan kompetitif untuk orang berinvestasi,” jelasnya.