Bisnis.com, JAKARTA — Stok obat untuk penanganan Covid-19 masih mengalami kekurangan sampai dengan 26 September 2021.
Plt. Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya mengatakan dua jenis obat yang stoknya masih di bawah kebutuhan bulan ini yakni tocilizumab 400 dengan stok 6.883 dan kebutuhan 9.000 mg/20 ml, serta IVIg 5 persen 50 mg dengan stok 114.278 dan untuk kebutuhan 144.000.
"Tocilizumab masih kurang, dari kebutuhan 9 ribu, kita hanya punya stok 6 ribu. Ini terjadi karena kita belum bisa membuat sendiri dan hanya beberapa negara yang memiliki pabrik ini di dunia," ujarnya dalam rapat dengar pendapat di DPR, Senin (27/9/2021).
Arianti mengatakan pihaknya telah berupaya mendapatkan alokasi impor ke sejumlah negara produsen, tetapi hingga kini belum membuahkan hasil.
Sementara itu, jenis obat lain yang stoknya mencukupi kebutuhan yakni multivitamin, favipiravir, remdesivir, oseltamivir, azythromycin, dan ivermectin.
Adapun dari delapan jenis obat penanganan Covid-19, yang belum bisa diproduksi di dalam negeri yakni remdesivir, tocilizumab, dan IVIg.
"Remdesivir kami mendapatkan banyak donasi, yang masih kami mencari adalah tocilizumab dan IVIg," lanjutnya.
Dia juga mengatakan, untuk mendorong ketercukupan kebutuhan obat di dalam negeri, perusahaan seperti PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) dan PT Kalbe Farma Tbk. didorong untuk memproduksi semakin banyak jenis bahan baku farmasi.
Sebelumnya, PT KSFP menyatakan telah memproduksi 10 bahan baku obat (BBO) sejak didirikan pada 2016. Sebanyak 10 jenis BBO yang kini telah diproduksi terdiri atas antikolesterol, antiplatelet-jantung, antivirus, dan antiretroviral. Kelompok BBO antivirus termasuk Remdesivir yang digunakan untuk pengobatan Covid-19.
Presiden Direktur KSFP Pamian Siregar mengatakan hingga akhir tahun ini pihaknya menargetkan produksi tiga hingga empat BBO lainnya. Namun demikian, serapan BBO dalam negeri ke industri farmasi masih belum maksimal karena terganjal daya saing harga dibandingkan dengan produk impor. Hal itu berpangkal pada masalah nilai keekonomian industri BBO yang masih kecil.