Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Diskon PPnBM 100 Persen, Ini PR Pabrik Mobil dari Kemenkeu

Kementerian Keuangan menyoroti produksi mobil yang sempat turun setelah diskon PPnBM 100 persen diberlakukan.
Perakitan Mitsubishi Xpander di Pabrik Bekasi. /Mitsubishi
Perakitan Mitsubishi Xpander di Pabrik Bekasi. /Mitsubishi

Bisnis.com, JAKARTA — Berdasarkan catatan Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, produksi mobil sempat turun setelah pemberlakuan diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 100 persen mulai Maret 2021.

Pada Februari 2021, produksi mobil tercatat sebesar 77,7 ribu unit, sebelum melonjak menjadi 102,9 ribu unit pada bulan berikutnya ketika diskon PPnBM mulai berlaku. Namun kemudian turun lagi menjadi 94,2 ribu pada April dan 64,1 ribu pada Mei.

Analis Kebijakan Ahli Madya PKPN BKF Kemenkeu Suska menggarisbawahi penurunan produksi ini sebagai hal yang perlu ditingkatkan.

"Sebetulnya pemerintah berharap dengan memberi insentif ini, sisi produksinya bisa mengejar yang sudah ada di masyarakat. Ini harus perlu dioptimalkan lagi," katanya dalam webinar, Kamis (23/9/2021).

Namun demikian, dia mengapresiasi kinerja penjualan ritel dan grosir yang naik signifikan dibandingkan dengan tahun lalu, meski belum menyamai posisi sebelum pandemi.

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto tak menampik adanya penurunan produksi usai insentif tersebut diberlakukan.

Pangkal persoalannya adalah ketersediaan komponen otomotif di dalam negeri yang terbatas. Terlebih, kebijakan tersebut mewajibkan pembelian komponen dalam negeri atau local purchase sebesar 60 persen.

Selain itu, kebijakan yang awalnya hanya berlaku selama tiga bulan ini dinilai menyulitkan pabrikan untuk melakukan perencanaan dan pemesanan komponen dalam jumlah besar ke industri di bawahnya.

"Kami bingung karena ini berlaku tiga bulan, setelah itu harga mobil naik, bagaimana nanti demandnya [kalau turun]," ujarnya.

Tersendatnya suplai komponen, lanjut Jongkie, karena ada beberapa industri komponen yang belum dinaikkan statusnya dari sektor esensial ke kritikal. Hal itu menyebabkan kinerja produksi komponen dalam negeri tidak bisa menyesuaikan permintaan.

"Ada beberapa [industri] komponen yang statusnya tidak naik, sehingga jam kerjanya berbeda, kapasitasnya berbeda. Ini yang tidak ada sinkron antara suplai komponen dengan kami," lanjutnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper