Bisnis.com, JAKARTA — Evergrande, raksasa pengembang properti asal China kini menjadi sorotan dunia. Investor memprediksi nasib Evergrande yang kini tercatat memiliki utang sebesar US$300 miliar atau setara dengan Rp4.200 triliun.
Pengembang yang memiliki utang terbesar di dunia ini akan melakukan pembayaran bunga sebesar US$84 juta pada Kamis (23/9/2021). Evergrande mulai membayar investor dalam bisnis manajemen kekayaannya dengan properti karena berjuang untuk menemukan uang tunai untuk memenuhi kewajibannya di awal pekan ini.
Lantas, apa yang dilakukan Evergrande?
Dilansir dari BBC.com, pengusaha Hui Ka Yan mendirikan Evergrande, yang sebelumnya dikenal sebagai Grup Hengda, pada 1996 di Guangzhou, China Selatan. Evergrande Real Estate saat ini memiliki lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di seluruh China.
Grup Evergrande yang lebih luas sekarang mencakup lebih dari sekadar pengembangan real estat. Bisnisnya berkisar dari manajemen kekayaan, membuat mobil listrik dan manufaktur makanan dan minuman. Bahkan memiliki salah satu tim sepak bola terbesar di negara itu, yakni Guangzhou FC. Mengacu pada data Forbes, Hui memiliki kekayaan pribadi sekitar US$10,6 miliar.
Baca Juga
Mengapa Evergrande dalam masalah?
Evergrande berkembang secara pesat menjadi salah satu perusahaan terbesar di China dengan meminjam lebih dari US$300 miliar atau setara dengan Rp4.200 triliun (dengan acuan kurs Rp14.000/dolar AS).
Tahun lalu, Beijing memberlakukan aturan baru untuk mengontrol jumlah utang pengembang real estat besar. Kebijakan baru pemerintahan Xi Jinping tersebut membuat Evergrande menawarkan propertinya dengan diskon besar untuk memastikan uang masuk untuk menjaga bisnis tetap bertahan.
Kini, Evergrande berjuang untuk memenuhi pembayaran bunga atas utangnya. Ketidakpastian ini telah membuat harga saham Evergrande jatuh sekitar 85 persen pada tahun ini. Obligasinya juga telah diturunkan oleh lembaga pemeringkat kredit global.
Apa yang terjadi jika Evergrande runtuh?
Ada beberapa alasan mengapa masalah Evergrande serius. Pertama, banyak orang membeli properti dari Evergrande bahkan sebelum pekerjaan pembangunan dimulai. Mereka telah membayar deposit dan berpotensi kehilangan uang itu jika bangkrut.
Kedua, banyak perusahaan yang berbisnis dengan Evergrande. Perusahaan termasuk perusahaan konstruksi dan desain serta pemasok material berisiko mengalami kerugian besar, yang dapat memaksa mereka bangkrut. Ketiga, dampak potensial terhadap sistem keuangan China.
"Kejatuhan keuangan akan jauh jangkauannya. Evergrande dilaporkan berutang uang kepada sekitar 171 bank domestik dan 121 perusahaan keuangan lainnya," kata Mattie Bekink dari Economist Intelligence Unit (EIU) dilansir dari BBC pada Rabu, (22/9/2021).
Hal ini juga dapat membuat investor asing bingung, yang dapat melihat China sebagai tempat yang kurang menarik untuk menginvestasikan uang mereka. Jika Evergrande jatuh, bank dan pemberi pinjaman lainnya mungkin terpaksa memberi pinjaman lebih sedikit.
Hal ini dapat menyebabkan apa yang dikenal sebagai krisis kredit, ketika perusahaan berjuang untuk meminjam uang dengan harga terjangkau. Krisis kredit akan menjadi berita yang sangat buruk bagi ekonomi terbesar kedua di dunia, karena perusahaan yang tidak dapat meminjam merasa sulit untuk tumbuh, dan dalam beberapa kasus tidak dapat terus beroperasi.
Apakah Evergrande 'terlalu besar untuk gagal'?
Potensi kejatuhan yang sangat serius dari perusahaan yang dililit hutang besar seperti itu telah menyebabkan beberapa analis menyarankan bahwa Beijing mungkin turun tangan untuk menyelamatkannya.
"Daripada mengambil risiko mengganggu rantai pasokan dan membuat marah pemilik rumah, kami pikir pemerintah mungkin akan menemukan cara untuk memastikan bisnis inti Evergrande bertahan," ujar Mattie Bekink.
Sementara dalam sebuah posting di aplikasi obrolan China dan platform media sosial WeChat, pemimpin redaksi berpengaruh dari surat kabar Global Times yang didukung negara Hu Xijin mengatakan Evergrande tidak boleh bergantung pada bailout pemerintah dan sebaliknya perlu menyelamatkan dirinya sendiri.
Hal ini juga sejalan dengan tujuan Beijing untuk mengendalikan utang perusahaan, yang berarti bahwa bailout profil tinggi seperti itu dapat dilihat sebagai contoh yang buruk.