Bisnis.com, JAKARTA – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyebut keberadaan angkutan umum ilegal pelat hitam atau travel gelap menyebabkan angkutan umum legal kehilangan pendapatan hingga ratusan juta per hari.
Menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, angkutan pelat hitam ini sudah lama beroperasi.
Kehadiran angkutan umum ilegal ini merupakan imbas dari pembiaran pemerintah terhadap kebutuhan angkutan, khususnya di pedesaan sehingga keberadaannya dianggap legal oleh masyarakat.
"Saya coba hitung total sehari itu angkutan umum legal bisa kehilangan pendapatan sekitar Rp700 juta karena [penumpang] diambil oleh angkutan ilegal," katanya kepada Bisnis.com, Selasa (14/9/2021).
Djoko mengaku jumlah tersebut baru sebatas hitungan kasar yang kemudian dibagi dua. Alasannya, travel gelap ini biasanya mematok tarif dua kali lipat lebih mahal dibandingkan angkutan umum legal.
Kendati demikian, sambungnya, masyarakat tetap memilih menggunakan angkutan ini karena layanannya yang door to door. Penumpang bisa dijemput dimana saja, bahkan daerah terpencil sekalipun.
"Mereka tidak masalah dengan tarifnya karena angkutan ini jemput ke ujung desapun bisa. Kemudian diantar sampai kemana saja tujuan penumpang. Jadinya masyarakat nggak apa-apa bayar dua kali lipat," sebutnya.
Lebih lanjut, Djoko mengungkapkan menurut perhitungannya jumlah angkutan ilegal pelat hitam ini bisa mencapai 1.000 kendaraan per hari. Sementara pengemudinya bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp500.000-Rp700.000 per dua hari kerja karena biasanya perjalanan pulang pergi memakan waktu dua hari.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tengah melakukan pengkajian terkait maraknya kemunculan angkutan umum ilegal atau travel gelap.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi menyebut sektor transportasi darat paling mudah mengalami disrupsi, salah satunya banyaknya angkutan ilegal tersebut.
"Kita sedang melakukan suatu kajian yang nantinya apakah kemudian kita akan melakukan penindakan tegas secara hukum, atau kalau memang ini menjadi ekspektasi dan perubahan masyarakat, kita akomodir saja dengan level of service yang sama dengan angkutan umum sehingga nanti penggunaan kendaraannya juga nanti kita batasi," tutur Budi.