Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diminta secara bijak untuk tidak menerapkan energi baru dan terbarukan sebagai energi primer.
Peneliti Institute of Development and Economics Finance (INDEF) Abra Tallatov menilai apabila bauran energi baru dan terbarukan dipaksa untuk ditingkatkan maka berpotensi untuk menimbulkan masalah baru.
Dia menilai, pada saat ini PT PLN (Persero) tengah mengalami kondisi kelebihan pasokan listrik. Dengan demikian, masuknya sumber listrik baru yang diproduksi dari EBT nantinya akan kembali menambah beban PLN.
“Pemerintah harus menanggung biaya kompensasi karena adanya kelebihan dari PLN tadi dan pemerintah masih harus menanggung subsidi listrik karena tekanan pandemi,” ujarnya dalam acara Indonesia Forward CNN Indonesia, Kamis (9/9/2021).
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pengembangan EBT di Indonesia tidak dapat disamakan dengan negara-negara maju. Pasalnya, tingkat GDP Indonesia yang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju.
Mengacu pada hal itu, maka dia menyebut suatu negara akan fokus kepada isu lingkungan apabila secara ekonomi telah mencapai titik pertumbuhan tertentu.
Selain itu, harga listrik yang diproduksi dari pembangkit EBT masih tercatat lebih mahal jika dibandingkan dengan energi fosil.
“Ini harus dilakukan secara hati-hati, ini ditujuannya positif dan menjadi komitmen pemerintah, yang perlu kita sadari antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan harus balance,” ungkapnya.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Yudiyanto mengatakan tujuan transisi energi adalah untuk mengurangi beban pemerintah dalam pemberian subsidi energi fosil baik yang dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Namun, dia menyebut pemerintah tidak berjalan sendiri dengan hanya mengandalkan APBN untuk mengembangkan EBT. “Pengembangan EBT tidak bisa sepenuhnya menggunakan APBN, diperlukan peran swasta dan pembiayaan,” jelasnya.