Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha perkebunan sawit menyerahkan sepenuhya kepada pemerintah soal kelanjutan Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit alias kebijakan moratorium sawit, seiring dengan masa berakhirnya Inpres tersebut pada 19 September 2021.
“Gapki menyerahkan kepada pemerintah apakah mau diperpanjang atau tidak. Anggota Gapki tetap peduli terhadap peningkatan produktivitas dan Gapki juga terus membantu pemerintah dalam percepatan Peremajaan Sawit Rakyat karena hal ini juga akan meningkatkan produktivitas sawit rakyat,” kata Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Senin (6/9/2021).
Selama masa berlakunya moratorium, Eddy memastikan tidak ada penambahan izin pembukaan lahan perkebunan baru. Penambahan area perkebunan hanya terbatas pada eksekusi terhadap izin yang dikeluarkan sebelum moratorium terbit.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), luas perkebunan besar sawit Indonesia kelapa sawit mencakup area seluas 8,56 juta hektare (ha) pada 2019. Luas ini bertambah menjadi 8,85 juta ha pada 2020.
“Yang sudah pasti dapat dikontrol untuk moratorium adalah perusahaan. Untuk perkebunan rakyat bisa jadi masih ada pembukaan lahan baru, ini yang perlu dicek kembali. Untuk perusahaan memang tidak ada izin baru, hanya ada menyelesaikan izin yang sudah ada,” paparnya.
Selama masa moratorium, kenaikan produksi minyak sawit Indonesia cenderung terbatas. Data Gapki menunjukkan produksi minyak sawit mentah (CPO) dan dan minyak kernel (PKO) berjumlah 47,38 juta ton pada 2018 dan menjadi 51,82 juta ton pada 2019. Pada 2020, produksi sempat turun tipis menjadi 51,58 juta ton.
Baca Juga
Dengan produksi yang melampaui 50 juta ton, Indonesia masih memegang posisi sebagai produsen terbesar minyak sawit. Namun Indexmundi menyebutkan bahwa rata-rata produktivitas minyak sawit Indonesia berada di angka 2,30 persen per tahun, lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia yang rata-rata produksinya mencapai 6,49 persen per tahun atau Thailand yang menyentuh 29,17 persen per tahun.
“Di internal perusahaan masing-masing, peningkatan produktivitas ditempuh dengan peremajaan tanaman tua, pemupukan, dan lainnya. Untuk investasi baru sama sekali tidak ada,” kata Eddy.
Adapun dari sisi ekspor, volume pengiriman minyak sawit dan turunannya pada 2020 terkoreksi mengikuti kondisi produksi, yakni dari 37,38 juta ton pada 2019 menjadi 34,00 juta ton. Asosiasi memprediksi ekspor bisa menyentuh 37,5 juta ton dengan produksi total di angka 53,93 juta ton.
“Tahun lalu turun karena kondisi pandemi di negara-negara importir. Namun dari sisi nilai ada kenaikan dari US$20,20 miliar menjadi US$22,97 miliar karena harga CPO,” kata Eddy.
Sampai saat ini, pemerintah belum memberikan titik terang soal nasib Inpres No. 8/2018. Lewat aturan ini, Presiden Joko Widodo menginstruksikan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mengevaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit dan meningkatkan produktivitas perkebunan. Selain itu, pemerintah diminta untuk menunda pemberian izin pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan dengan perkebunan kelapa sawit.