Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi petani sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) menyurati Presiden Jokowi agar memperpanjang Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Evaluasi Izin dan Peningkatan Produktivitas atau Moratorium Sawit.
Asosiasi tersebut beranggotakan Serikat Petani kelapa Sawit (SPKS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Perjuangan (Apkasindo Perjuangan), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir), dan Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (Japsbi).
Asosiasi petani menilai moratorium sawit masih sangat diperlukan untuk memperbaiki rantai pasok petani sawit yang masih panjang, penyelesaian sawit dalam kawasan hutan, perbaikan pada produktivitas masih rendah, mempercepat penyelesaian legalitas petani,serta pemetaan dan pendataan petani swadaya baik dalam APL maupun dalam kawasan.
Selain itu, moratorium juga diperlukan untuk mendorong kepatuhan perusahaan dalam alokasi pembangunan kebun masyarakat sebesar 20 persen yang belum direalisasikan. Hingga saat ini masyarakat masih menunggu percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Ketua Umum POPSI Pahala Sibuea menjelaskan dengan total luasan perkebunan sawit Indonesia sebesar 16,38 juta hektare (ha) saat ini, produksi CPO setiap tahunnya mengalami over stock CPO di kisaran 4,5 juta - 5 juta ton per tahun. Untuk itu, moratorium sawit harus dilanjutkan untuk mengerem pembukaan lahan baru perkebunan sawit.
“Pemerintah harusnya fokus saja pada peningkatan produktivitas petani sawit, salah satunya melalui program peremajaan sawit rakyat [PSR]. Ini sudah tepat dilakukan. Setelah PSR petani diperkirakan bisa memiliki produktivitas 20 ton per/ha-25 ton/ha TBS per tahunnya, yang sebelumnya hanya di kisaran 10 ton per tahun sampai dengan 15 ton per tahun, “ ungkap Pahala dalam keterangan resmi, Selasa (29/6/2021).
Artinya, sambung Pahala, akan ada tambahan produksi sawit Indonesia dari petani yang cukup signifikan. Dengan program PSR dan bila tidak ada moratorium sawit, maka akan terjadi boom lompatan produksi CPO yang akan menambah over stock pada 2023 nanti, mungkin menjadi dua kali lipat dari over stock setiap tahun.
Menurutnya, bila hal ini tidak diantisipasi tentunya akan membawa dampak besar terhadap petani sawit, salah satunya akan membuat harga TBS petani ke depan bisa turun drastis dan bahkan bisa jadi PKS milik pengusaha tidak akan menerima TBS dari petani.
Sekjen SPKS Mansuetus Darto mengatakan selama moratorium sawit 3 tahun terakhir belum ada akselerasi penyelesaian legalitas petani sawit baik STDB ataupun sertifikat tanah milik petani pada areal penggunaan lainnya. Bahkan, pengurusan STDB sangat sulit padahal secara regulasi STDB merupakan kewajiban pemerintah.
“Tidak ada pemetaan petani swadaya. Pemetaan petani swadaya by name, by address, belum dilakukan selama fase moratorium sawit. Ini menyulitkan bagi penyusunan database petani sawit secara nasional dan penyelesaian masalah petani swadaya, terutama untuk peremajaan sawit dan penyelesaian legalitas petani sawit,” tegas Darto.
Ketua Umum Japsbi Heri Susanto mengatakan peremajaan sawit rakyat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari moratorium sawit karena erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas. Saat ini pemerintah sedang menggencarkan Program PSR. PSR dalam hal ini harus menjadi pintu masuk pembinaan perusahaan kepada petani di sekitarnya.
“Petani jangan dibiarkan sendiri. Perusahaan bisa masuk melakukan pembinaan untuk memastikan petani mendapat benih unggul, sarana produksi dan standar teknis perkebunan yang benar. PSR juga harus jadi pintu masuk pembenahan kelembagaan petani. Selain itu juga dana PSR yang dianggarkan pemerintah harus mencukupi dari pembangunan P0 sampai P3 atau sekitar Rp50 juta/ha-60 juta/ha,” kata Heri.
Ketua Umum Apkasindo Perjuangan Alpian Arahman menilai perlunya moratorium sawit ini agar ada fokus dari pelaku usaha perkebunan di Indonesia, khususnya pelaku perkebunan besar, untuk memperbaiki produktivitas kebun maupun perbaikan kebun para petani sekitarnya sebagai pemasok, termasuk pembangunan kemitraan dengan petani swadaya.
Selain itu, petani tidak akan berubah kondisinya sebab mereka akan selalu menjual hasil produksinya ke tengkulak dengan harga yang mereka tentukan.
“Moratorium akan mendorong perusahaan perkebunan harus bermitra dengan petani swadaya secara berkelanjutan. Hal ini harus diperkuat dalam skema moratorium yang baru,” jelas Alpian.
Adapun, Ketua Umum Aspekpir Setiyono mengatakan moratorium sawit ini di perlukan karena ke depannya pada 2025 sesuai dengan Perpres 44 tentang ISPO, di mana para petani wajib mengikuti ISPO.
“Dengan demikian, kelanjutan moratorium sangat relevan agar semua pihak terkait bergotong royong memperkuat sawit rakyat pada sisi kelembagaan tani, kapasitas budidaya ,maupun legalitas petani. Sehingga ada persiapan yang dilakukan oleh petani sebelum ISPO diberlakukan secara tetap,” jelas Setiyono.
Untuk itu petani sawit Indonesia, meminta kepada Presiden untuk melanjutkan memperpanjang Inpres No 8 tahun 2018 tentang moratorium dan juga harus mempertegas beberapa hal dalam melanjutkan moratorium sawit:
- Secara bersama berhenti melakukan deforestasi dan optimalkan kerja sama dengan petani swadaya melalui peningkatan produktivitas petani dan pembelian langsung ke petani.
- Melakukan penanganan rendahnya harga jual dengan menghilangkan biaya ekonomi tinggi di lapangan dan menjadikan petani swadaya menjadi salah satu sumber pasokan program pemerintah seperti B30 secara transparan dan berkelanjutan.
- Membantu petani kelapa sawit swadaya untuk pemetaan, revitalisasi kelembagaan, dan legalisasi lahan. Dengan upaya ini, petani akan memperoleh ISPO dan sawit rakyat indonesia ada kepastian legalitas untuk menjadi bagian sustainable palm oil.
- Kejelasan dan kepastian data, kelembagaan dan legalitas akan memudahkan petani mengakses pendanaan baik dari lembaga keuangan dan BPDPKS;
- Kementerian/Lembaga terkait agar dapat membantu petani swadaya dalam mengambil bagian dari revitalisasi perkebunan kelapa sawit. Sebagai ilustrasi: BPDPKS membantu pendanaan dan KemenATR membantu penyertifikatan (sebagai bagian dari program reformasi agraria) dan KLHK untuk penyelesaian tumpang tindih lahan petani swadaya dengan kawasan hutan dan Kementerian Pertanian, melakukan pendataan Bersama Dinas Perkebunan Kabupaten dan melakukan penguatan SDM petani sawit secara luas.
- Para pihak memberikan dukungan untuk berkolaborasi bersama petani swadaya Indonesia dengan prinsip kemitraan yang adil dan berkelanjutan serta menyejahterakan petani.
- Mempertimbangkan ulang besaran pungutan sawit yang diregulasikan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan di kelola oleh BPDP-KS agar tidak menggerus harga TBS di tingkat petani plasma maupun petani swadaya. Semestinya, perlu memperhatikan aspirasi para petani sawit yang terasosiasi dalam POPSI sebab pungutan sawit sebesar $175-$250 per ton CPO akan menggerus Harga TBS petani secara tajam.
- Pendanaan peremajaan sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas perkebunan, harus didukung 100% pembiayaannya dari BPDP-KS dengan prosedur birokrasi pendanaan yang mudah dan transparan.
- Perusahaan mitra yg menjadi offtaker diberi wewenang atau diharuskan menyediakan bibit bagi kelompok tani/koperasi yg menjadi mitra binaan agar bibit yang digunakan berkualitas.
- Dana PSR bagi petani seharusnya cukup untuk biaya mulai Po sampai P3 tergantung kondisi lahan replanting baik lahan mineral atau gambut