Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (Fed) menyatakan bahwa akan mulai menarik stimulus, atau tapering, pada tahun ini seiring dengan pemulihan ekonomi di AS.
Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan akan memulai pengurangan pembelian aset tahun ini seiring dengan pengawasan risiko terhadap Covid-19 yang terus berkembang. Sementara untuk suku bunga acuan, akan dilakukan setelah kembalinya perekomian ke tingkat lapangan kerja maksimum dan inflasi ke 2 persen sesuai dengan target The Fed.
Senior VP Economist Bank Permata Josua Pardede memperkirakan pengetatan kebijakan moneter berpotensi mendorong penguatan dolar AS dalam jangka pendek, dan mendorong rupiah melemah terbatas secara temporer atau sementara waktu.
Hal ini, tambahnya, bisa menyebabkan sejumlah industri yang relatif memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor dan memasarkan produknya ke pasar domestik, akan menghadapi mismatch. Pasalnya, harga bahan baku meningkat akibat pelemahan nilai tukar, sedangkan penghasilannya berbasis rupiah.
“Mengacu kepada data tabel Input Output 2016 yang dikeluarkan BPS, beberapa industri yang memiliki proporsi input impor tinggi antara lain industri tepung gandum, perhiasan, barang elektronik, komunikasi dan perlengkapannya, bahan plastik, benang, cat dan tinta, serta garmen,” jelas Josua kepada Bisnis, Selasa (31/8/2021).
Selain berpotensi menimbulkan mismatch pada sejumlah industri, tapering juga berpotensi memengaruhi harga-harga komoditas, oleh karena itu patut diwaspadai.
Di sisi lain, meskipun pelemahan nilai tukar rupiah cenderung menguntungkan eksportir komoditas, jika melihat historisnya, tapering juga akan berpotensi menekan harga-harga komoditas unggulan Indonesia seperti CPO, batu bara, nikel dan minyak.
Akan tetapi, Josua menilai baik otoritas fiskal dan moneter telah menyiapkan berbagai instrumen untuk mengantisipasi dampak tapering tahun ini.
“Kementerian Keuangan bersama terus mengkomunikasikan kebijakan fiskal yang terarah dan prudent kepada para investor. Bank Indonesia juga telah menyiapkan instrumen yakni intervensi di pasar spot, DNDF, maupun pembelian SBN dari pasar sekunder,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Josua menilai fondasi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan tahun 2013. Hal itu terlihat dari defisit neraca transaksi berjalan yang lebih rendah; inflasi juga lebih rendah; dan kepemilikan asing di pasar SBN yang sudah jauh lebih rendah yakni hanya 22 persen.
“Jadi, menurut saya, hal yang penting dijaga untuk ke depan adalah komunikasi kebijakan dari regulator yang memberikan kejelasan bagi para investor surat berharga kita. Selain itu juga, upaya yang dapat dilakukan di ekonomi domestik adalah menjaga inflasi agar tidak terlalu melonjak sehingga real yield yang cenderung relatif terjaga,” tutupnya.