Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UMKM Tolak Ketentuan Pajak Final 1 Persen RUU KUP

Ketentuan pajak baru bagi UMKM dinilai akan memberatkan pelaku usaha.
Salah satu UMKM yang berpartisipasi dalam pameran Festival Joglosemar Artisan of Java yang diselenggarakan di Taman Lumbini kawasan Candi Borobudur Magelang, Kamis (21/5/2021). /Bisnis-Farodlilah Muqoddam
Salah satu UMKM yang berpartisipasi dalam pameran Festival Joglosemar Artisan of Java yang diselenggarakan di Taman Lumbini kawasan Candi Borobudur Magelang, Kamis (21/5/2021). /Bisnis-Farodlilah Muqoddam

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha mikro dan kecil (UMKM) menolak ketentuan dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang menerapkan pajak senilai 1 persen dari penghasilan bruto terhadap pelaku usaha segmen tersebut. Beleid saat ini masih dibahas di DPR RI.

Ketua Umum Jaringan Usahawan Independen Indonesia, organisasi yang menaungi UMK di Tanah Air, Sutrisno Iwantono penghapusan ketentuan pajak final senilai 0,5 persen dari penjualan/omset bruto dalam RUU KUP memberatkan pelaku UMK.

"Kami meminta UMK tetap dikenakan pajak final 0,5 persen dari penjualan atau setara dengan alternatif pilihan dikenai pajak penghasilan PPh. Kami keberatan jika ketentuan itu dihapus," ujar Iwan dalam konferensi pers virtual, Selasa (31/8/2021).

Iwan mengatakan ketentuan tersebut harusnya tetap berpedoman kepada substansi PP No. 23/2018 tentang pajak penghasilan dengan perubahan tidak diberlakukannya batas waktu 3 sampai 7 tahun bagi usaha mikro dan kecil.

Dengan kata lain, sambungnya, selama suatu perusahaan statusnya masih mikro dan kecil, maka substansi yang terdapat dalam PP No. 23/2018 tetap berlaku, di mana tidak ada pembatasan waktu tertentu terhadap perusahaan berskala mikro dan kecil.

Menurut Iwan, pelaku UMK di Tanah Air menginginkan pengenaan pajak terhadap UMK benar-benar merujuk kepada UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) beserta aturan turunannya. Dengan pengenaan pajak sebesar 1 persen, dia menilai langkah pemerintah untuk mengubah kebijakan menjadi hal yang kurang tepat.

Sebab, situasi belum membaik bagi pelaku UMK sejak pemerintah malakukan restriksi ketika Pandemi Covid-19 melanda 2 tahun lalu. Kondisi itu disebut tidak menguntungkan bagi UMK dan RUU KUP dinilai tidak menjamin iklim usaha yang sehat.

Sebagai informasi, pada 20 juli 2020, sebanyak 30 juta UMKM dilaporkan bangkrut. Pada Desember 2020, perusahaan disegmen tersebut mulai bangkit dan kembali ambruk pada saat pemerintah menerapkan PPKM darurat dan PPKM level 2-4.

"Jumlah pasti UMK yang bangkrut belum bisa diketahui. Satu hal yang pasti, setiap kebijakan pemerintah yang kontradistif akan mengakibatnya turunnya daya tahan UMK," tegasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rahmad Fauzan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper