Bisnis.com, JAKARTA – Kajian The Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan negara-negara yang tidak mencapai vaksinasi terhadap 60 persen dari populasinya pada pertengahan 2022, diperkirakan merugi total US$2,3 triliun atau Rp33,1 triliun (kurs Rp14.420 per dolar AS) pada 2022-2025.
Global Forecasting Director EIU Agathe Demarais mengatakan Asia akan menjadi benua atau kawasan yang akan paling terpengaruh dari lambatnya vaksinasi Covid-19. Kerugian kumulatif yang diperkirakan sebesar US$1,7 miliar.
“Secara mutlak, Asia akan menjadi benua yang paling terdampak dari jadwal vaksinasi yang tertunda (dengan kerugian kumulatif US$1,7 miliar). Sebagai bagian dari PDB, negara-negara di gurun Sahara akan mencatat kerugian tertinggi dengan total 3 persen dari PDB yang diperkirakan pada 2022-2025,” tulis Agathe pada kajiannya yang diterima Bisnis, Rabu (25/8/2021).
Agathe lalu menjelaskan terdapat perbedaan kontras pada kampanye vaksinasi antara negara-negara berpendapatan menengah ke bawah, dan berpendapatan menengah atas. Di negara-negara menengah ke bawah, kampanye vaksinasi berjalan dengan fase yang lambat.
“Hanya 1 persen dari populasi negara-negara miskin yang telah menerima setidaknya dosis vaksin pertama,” kata Agathe.
Sementara itu, negara-negara kaya atau berpendapatan menengah atas telah mencatat pemberian vaksin 100 kali lebih banyak dari negara-negara miskin.
Baca Juga
Oleh sebab itu, ketimpangan berpotensi memberikan dampak berbeda bagi negara maju dan berkembang. Kajian menunjukkan kerugian negara yang akan dialami oleh negara berkembang diperkirakan lebih besar yaitu 65,6 persen terhadap share proyeksi GDP global pada 2022-2025.
Sementara, kerugian yang akan dialami oleh negara maju pada 2022-2025 lebih kecil yaitu 34,4 persen terhadap share proyeksi GDP global.
Menurut kawasan, kajian EIU memperkirakan kawasan Asia-Pasifik menjadi paling terdampak oleh jadwal vaksinasi yang tertunda. Kerugian yang dialami mencapai 73 persen dari share proyeksi GDP global pada 2022-2025. Selanjutnya, kawasan Timur Tengah dan Afrika Timur (10 persen); kawasan sub-sahara Afrika (9 persen); Eropa Timur (6 persen); dan Amerika Latin (3 persen).
Ketimpangan vaksin, kata Agathe, disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor. Pertama, sedikitnya bahan mentah vaksin dan terbatasnya kapasitas produksi vaksin secara global. Hal ini terjadi lebih buruk pada negara-negara berkembang.
“Banyak negara-negara berkembang bersandar pada suplai dari India, namun pemerintah India telah membatasi produksi vaksin untuk dalam negeri saja,” tuturnya.
Kedua, kemampuan pembiayaan turut menahan laju vaksinasi, khususnya di negara berkembang. Hanya sedikit dari negara berkembang yang mampu membeli vaksin Covid-19. Ketiga, faktor logistik seperti pengiriman dan penyimpanan vaksin memerlukan sarana dan prasarana yang harus memenuhi standar.
Keempat, terbatasnya jumlah tenaga kesehatan untuk melakukan vaksinasi terhadap masyarakat. Kelima, keraguan untuk mendapatkan suntikan vaksin.
“Keraguan terhadap vaksin tidak hanya masalah negara dunia pertama. Populasi dari negara-negara berkembang seperti Ukraina, Vietnam, dan India turut menunjukkan ketidakpercayaan tinggi terhadap vaksin,” jelasnya.