Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengaku kerap terlibat dalam pembahasan dalam mencari solusi persoalan kelangkaan peti kemas tersebut dan telah menyampaikan berbagai usulan dan masukan kepada pemerintah maupun kementerian terkait serta stakeholders.
Ketua Umum ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi menjelaskan terhadap persoalan kelangkaan peti kemas tersebut, setidaknya terdapat tujuh sumber permasalahan yang bisa diidentifikasi.
Pertama, kata dia, shipping dengan kontainer atau peti kemas diperlukan untuk aktivitas ekspor impor komoditas yang berupa produk jadi. Aktivitas ekspor komoditas SDA Indonesia seperti batubara dan CPO tidak menggunakan kontainer tetapi menggunakan Bulk Dry Cargo atau Bulk Liquid Cargo.
Kedua, lanjutnya, karena ketersediaan kontainer di suatu negara salah satunya bergantung pada frekuensi impornya. Kontainer cenderung banyak bergerak ke Amerika seiring dengan impornya yang tinggi sedangkan di Indonesia lebih sedikit.
“Selama pandemi Covid-19, terjadi penurunan impor Indonesia yang berakibat lebih sedikitnya kontainer yang masuk ke Indonesia. Dengan keterbatasan kontainer, pelaku usaha eksportir dan importir di Indonesia merasa kelangkaan kontainer, terutama ukuran 40 feet/ 40 feet high cube. Lebih lanjut, tekanan kenaikan biaya angkut tidak dapat mengkompensasi nilai tambah komoditas yang di ekspor,” ujarnya melalui siaran pers, Senin (23/8/2021).
Keempat, operator shipping line memberikan klien mereka free time window atau waktu ekstra secara gratis untuk menyimpan kargo mereka di dalam peti kemas di pelabuhan untuk mempertahankan hubungan bisnis. Kemudian operator shipping line di Amerika Serikat mengurangi free time window tersebut dan membebankan biaya tambahan untuk pembongkaran kontainer.
Baca Juga
Hal tersebut dilakukan untuk mendorong kontainer kembali ke Asia secepat mungkin untuk pengiriman berikutnya. Namun, importir AS tidak dapat menemukan kapasitas truk yang cukup untuk mengosongkan kontainer.
Keenam, para pelaku eksportir Asia menekan harga dengan memesan kontainer di muka, memesan ruang di kapal, dan menegosiasikan tarif dengan menggunakan kontrak kontainer yang terhubung dengan indeks dan alat manajemen risiko.
Ketujuh, pemerintah China juga melakukan intervensi harga dan meminta Costco (perusahaan container milik China) dengan market share dunia 35 persen untuk menahan harganya yang diharapkan dapat menahan kenaikan harga kontainer.
Yukki pun tak memungkiri bahwa kelangkaan kontainer mendorong kenaikan harga logistik. Hal ini semakin diperparah karena selama masa Pandemi terjadi aktivitas penurunan impor Indonesia yang menyebabkan kelangkaan kontainer terutama 40 feet untuk ekspor.
Impor Indonesia yang lebih kecil tersebut menyebabkan rendahnya jumlah kontainer yang masuk ke Indonesia, selain itu terjadinya ketidakseimbangan arus kontainer ekspor dan impor Amerika Asia menaikkan harga kontainer.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut kelancaran arus barang ekspor dan Impor di Indonesia dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 saat ini masih harus berhadapan dengan isu-isu di lapangan, yaitu soal kelangkaan peti kemas (shortage container), tidak tersedianya space di kapal (full book), isu penumpukan barang ekspor di lokasi pabrik yang bisa mengakibatkan stop produksi, serta lemahnya ekosistem data/komunikasi antar pelaku moda transportasi, pemilik barang, forwarder, dan Instansi/Lembaga Pemerintah terkait.