Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menegaskan revisi Peraturan Menteri ESDM terkait pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap tidak akan merugikan PT PLN (Persero).
Dadan menuturkan, pemerintah telah mengkaji berbagai aspek terkait perubahan pemanfaatan PLTS atap dalam revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), termasuk besaran perhitungan transaksi ekspor-impor energi listrik pelanggan yang dihasilkan oleh PLTS atap kepada PLN.
Dia tak menampik pengembangan PLTS atap akan membuat pendapatan PLN berkurang. Namun, hal itu tidak sampai menimbulkan kerugian besar bagi PLN.
"PLN memang akan berkurang pendapatannya karena konsumsi listrik masyarakat sebagian diganti. Tapi ini bisa dikelola PLN sehingga tidak terjadi kerugian. Kalau ada yang bilang kerugian PLN sekian triliun itu tidak benar," ujar Dadan dalam sebuah webinar, Kamis (19/8/2021).
Adapun, dalam revisi Permen tersebut, pemerintah berencana meningkatkan nilai transaksi ekspor listrik PLTS atap menjadi 100 persen atau 1:1. Artinya, kelebihan produksi listrik dari PLTS atap yang bisa diekspor ke jaringan PLN akan dihargai 100 persen atau sama dengan tarif yang dikenakan saat pelanggan mengonsumsi atau impor listrik dari PLN. Jumlah energi yang diekspor ke PLN nantinya dapat menjadi pengurang tagihan listrik konsumen.
Saat ini, perhitungan nilai ekspor PLTS atap yang berlaku adalah maksimal 65 persen atau 1:0,65. Sedangkan 35 persennya dianggap sebagai kompensasi jaringan PLN. Perhitungan tersebut mempertimbangkan 2/3 biaya pembangkitan dan 1/3 biaya jaringan atau transmisi.
Baca Juga
Dadan juga menegaskan bahwa tidak seluruh produksi listrik yang dihasilkan PLTS atap bisa dieskpor ke PLN. Berdasarkan survei yang telah dilakukan Kementerian ESDM, produksi listrik PLTS atap yang bisa dieskpor ke PLN di sektor pelanggan rumah tangga hanya berkisar 24 persen dari total produksi, sementara di pelanggan industri hanya 5-8 persen.
"Kalau [PLTS atap] kita produksi 100 kWh, itu yang masuk ke PLN 24 persennya, 24 kWh saja, ini yang masuk prinsip 1:1," jelas Dadan.
Sebelumnya, pakar energi dan Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Mukhtasor mengatakan bahwa pemerintah atau negara harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambil terkait rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri terkait PLTS atap. Salah satu klausul yang kontroversial adalah kewajiban PLN untuk membeli 100 persen listrik dari PLTS atap dari sebelumnya hanya 65 persen.
“Rencana penerbitan Permen ESDM soal PLTS atap terburu-buru. Harusnya pihak terkait memberikan masukan dalam penyusunan Permen terkait revisi itu. Jika ada informasi yang tidak match, pihak independen dilibatkan. Apalagi ini demi kepentingan nasional dan berdampak tidak hanya bagi PLN, juga keuangan negara,” ujar Mukthtasor.