Bisnis.com, JAKARTA – Survei World Competitiveness Yearbook (WCY) 2021 yang dilakukan oleh IMD memposisikan daya saing Indonesia pada peringkat 37 dari total 64 negara, yang sebarannya mewakili seluruh kawasan ekonomi dunia.
Lembaga Management FEB Universitas Indonesia (LM FEB UI) menuturkan penilaian daya saing dari 64 negara tersebut berdasarkan empat komponen utama yang meliputi kinerja perekonomian, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
Peneliti Senior LM FEB UI Taufiq Nur mengatakan ranking daya saing negara pada survei 2021, turut mencerminkan ketahanan negara terhadap pandemi Covid-19. Bahkan, negara-negara dengan penanganan Covid-19 yang baik, misalnya di Asia Pasifik, mengalami kenaikan ranking seperti Taiwan, China, dan Selandia Baru.
Misalnya, Taiwan naik ke peringkat ke-8 atau naik 3 peringkat, China naik ke peringkat ke-16 atau naik 4 peringkat, dan Selandia Baru naik ke peringkat ke-20 atau naik 2 peringkat. Di sisi lain, Taufiq menyebut Indonesia juga naik 3 peringkat ke 37, meski pun masih berada di posisi bawah di antara negara-negara Asia Pasifik.
“Indonesia juga dari berbagai indikator makroekonomi relatif cukup baik sehingga ini tercermin dengan daya saing secara global yang naik ke 37. Walau pun, kita di tahun sebelumnya di 2019 pernah di peringkat ke 32. Tapi, pada dasarnya ini mencerminkan capaian kita bisa menjaga perekonomian kita dengan baik,” tutur Taufiq pada webinar LM FEB UI (IMD Partner): Peringkat Daya Saing Indonesia 2021, Kamis (19/8/2021).
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin mengatakan negara-negara dengan akses vaksin yang tinggi, mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dia menilai Indonesia yang memiliki pertumbuhan ekonomi mencapai 7,07 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) di kuartal II/2021 meski di tengah keterbatasan akses vaksin, merupakan suatu keberhasilan.
Baca Juga
“Jadi kalau kita lihat Indonesia di kuartal kedua [2021], bisa tumbuh 7 persen sebetulnya juga termasuk suatu keberhasilan untuk rebound dalam kondisi yang penuh ketidakpastian,” jelasnya.
Selain itu, dia juga menilai Indonesia sebenarnya masih bisa mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi. Menurutnya, Indonesia belum mencapai level potensialnya, terlihat dari inflasi dalam negeri yang masih cukup stabil meski pertumbuhan ekonomi mengalami rebound dari kontraksi cukup dalam sebesar -5,32 persen (yoy) di kuartal II/2020.
“Indonesia belum mencapai potensialnya. Jadi meski pun tumbuh 7 persen, kita masih ada space [ruang] untuk tumbuh lebih tinggi. Karena kalau perekonomian sudah mencapai dekat dengan optimal level dari penggunaan resources, maka inflasi itu biasanya tinggi,” jelasnya.