Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lonjakan Covid Asia Bebani Rantai Pasokan Global

Kemacetan yang terjadi di Asia, yang menyumbang sekitar 42 persen ekspor global menurut PBB, berisiko mengacaukan pengiriman yang biasanya meningkat untuk musim belanja liburan Natal.
Pelabuhan Ningbo-Zhoushan adalah pelabuhan tersibuk ketiga secara global dalam hal pengiriman peti kemas pada 2020 dan tersibuk kedua di China setelah Shanghai, menurut publikasi maritim Lloyd's List/ Bloomberg
Pelabuhan Ningbo-Zhoushan adalah pelabuhan tersibuk ketiga secara global dalam hal pengiriman peti kemas pada 2020 dan tersibuk kedua di China setelah Shanghai, menurut publikasi maritim Lloyd's List/ Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Lonjakan baru infeksi Covid-19 di Asia memperparah penyumbatan rantai pasokan di seluruh sumber barang-barang manufaktur terbesar di dunia.

Varian delta yang menyebar cepat telah menimbulkan gejolak di pabrik dan pelabuhan di banyak negara, khususnya Asia.

Kemacetan yang terjadi di Asia, yang menyumbang sekitar 42 persen ekspor global menurut PBB, berisiko mengacaukan pengiriman yang biasanya meningkat untuk musim belanja liburan Natal.

Masalah yang dimulai di pelabuhan Asia dapat beriak perlahan, kemudian muncul sebagai penundaan di Los Angeles atau Rotterdam, dan akhirnya menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen.

Gejolak ini juga memperburuk tahun yang sudah menyiksa bagi eksportir, dengan biaya pengiriman menjadi sangat tinggi karena kekurangan kontainer. Selain itu, bahan baku seperti semikonduktor yang lebih mahal dan sulit didapat di tengah lonjakan permintaan, juga menjadi pengerek biaya pengiriman.

"[Varian] Delta kemungkinan besar akan mengganggu perdagangan di Asia secara signifikan. Sebagian besar pasar selama ini beruntung mengelola Covid dengan baik. Namun karena Covid terus menyebar, rentetan keberuntungan ini kemungkinan akan berakhir di banyak lokasi,” kata Deborah Elms, Direktur Eksekutif Asian Trade Centre yang berbasis di Singapura, dilansir Bloomberg, Minggu (15/8/2021).

Di China, pelabuhan peti kemas tersibuk ketiga di dunia ditutup sebagian baru-baru ini, sementara di Asia Tenggara, para eksekutif pabrik telah menghentikan produksi elektronik, garmen, dan sejumlah produk lainnya.

Pertaruhannya adalah ledakan ekspor mendorong pemulihan ekonomi yang ditopang perdagangan selama pandemi dan diperkirakan akan memicu rebound yang lebih tinggi. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah memperkirakan Asia memimpin kenaikan 8% tahun ini dalam perdagangan barang global.

Sementara itu, tersendatnya pasokan akan memicu kekhawatiran bahwa kenaikan inflasi untuk produsen China atau konsumen AS akan terbukti tak sementara, menguji ekspektasi di antara pembuat kebijakan untuk penurunan harga jangka pendek.

Sementara kasus China relatif rendah, pendekatan tanpa toleransi telah menyebabkan penutupan terminal Meishan di pelabuhan Ningbo-Zhoushan, di mana semua layanan peti kemas masuk dan keluar dihentikan pada Rabu (12/8/2021) setelah seorang pekerja terinfeksi. Penutupan itu mengikuti penundaan operasi Pelabuhan Yantian di Shenzhen selama sekitar satu bulan.

Di Asia Tenggara, manajer manufaktur melihat penurunan aktivitas bulan lalu karena eksportir berjuang untuk menjaga pabrik tetap berjalan, sebuah tanda bahwa Covid-19 mungkin akhirnya akan memukul perdagangan yang tangguh di kawasan itu.

Sementara Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Thailand merupakan gabungan 5,7 persen dari ekspor global, negara-negara itu dapat sangat berdampak pada ekonomi yang lebih besar seperti AS dan China, khususnya di bidang elektronik, menurut perkiraan oleh Natixis.

China mengimpor 38 persen mesin pengolah data dan 29 persen peralatan telekomunikasinya dari lima negara Asean, sementara AS bergantung pada setengah impor semikonduktornya dari blok tersebut.

Dampaknya juga meluas ke pusat ekspor Jepang dan Korea Selatan. Samsung Electronics Co., misalnya, bulan lalu mengatakan pendapatan di bisnis telepon selulernya terpukul oleh wabah di Vietnam.

Pemerintah Vietnam telah mengambil langkah-langkah ekstrem untuk meminimalkan pukulan terhadap ekspor karena kasus baru melonjak menjadi sekitar 16.000 setiap hari. Pihak berwenang telah memerintahkan produsen untuk mengizinkan pekerja bermalam di pabrik.

Namun, pengaturan itu tidak cukup untuk perusahaan seperti Harco Shoes and Materials Manufacturing Co., di Provinsi Hung Yen dekat Hanoi.

CEO Pham Hong Viet mengatakan situasinya menjadi semakin buruk karena sebagian besar pabrik di provinsi selatan harus menghentikan operasi dan perusahaan di utara telah berjuang untuk mempertahankan beberapa produksi.

"Seluruh rantai pasokan negara telah sangat terganggu," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper