Bisnis.com, JAKARTA — Penetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk oksigen mendesak diterapkan di tengah lonjakan permintaan. Selain itu, penetapan HET dinilai bisa menjadi instrumen untuk melindungi konsumen dari aksi spekulan di tingkat eceran.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pengawasan harga oksigen sejatinya bisa lebih mudah dilakukan di ekosistem dagang-el. Namun, HET tetap diperlukan sebagai acuan untuk langkah penindakan.
“HET oksigen perlu dibuat karena kebutuhan atas produk ini sama pentingnya dengan obat-obatan penanganan Covid-19,” kata Bhima, Selasa (27/7/2021).
Bhima mengatakan penetapan HET bisa mempermudah pengawasan dan mencegah terjadinya aksi penimbunan pelaku pasar yang mengincar keuntungan dari kenaikan harga. HET sendiri memainkan peran sebagai pengatur harga batas atas maksimal produk sehingga tidak bisa dilampaui penjual.
“HET penting sebagai acuan pemberian sanksi bagi pedagang yang memanfaatkan situasi, bisa berupa teguran sampai pencabutan izin usaha. Fungsinya sebagai petunjuk teknis untuk pengawasan di lapangan,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan oksigen belum termasuk barang yang diatur harga eceran tertingginya karena sifatnya strategis dalam situasi khusus.
Sementara itu, fokus penetapan HET sejauh ini mengacu pada regulasi mengenai daftar barang pokok dan penting sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 59/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Dalam regulasi tersebut, barang penting mencakup benih padi, jagung, kedelai; pupuk; gas elpiji; triplek; semen; besi dan baja konstruksi; dan baja ringan.
“Sampai saat ini kebijakan HET hanya mengacu ke bapokting, saat ini situasinya oksigen sudah menjadi barang strategis yang sifatnya situasional,” kata Oke.
Perkembangan harga oksigen nasional terpantau normal menurut laporan Kementerian Perdagangan. Meski demikian, kenaikan tercatat terjadi di beberapa wilayah seperti DKI Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta selama PPKM Darurat.
Harga oksigen isi ulang di DKI Jakarta terpantau naik 37,5 persen dibandingkan harga normal Rp70.000 sampai Rp80.000 per kubik, harga di Semarang naik 50 persen dari harga normal Rp50.000 sampai Rp60.000 per kubik, dan di Yogyakarta naik 66,67 persen dari harga normal Rp30.000 per kubik.