Bisnis.com, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Perpajakan Universitas Indonesia Haula Rosdiana mengatakan bahwa ada beberapa catatan penting dalam mencermati naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Haula membaca latar belakang diusulkannya RUU KUP karena ada keterbatasan kapasitas administrasi. Oleh karena itu, jelsanya, jawaban dalam rancangan tersebut seharusnya memperkuat kapasitas administrasi.
“Pemerintah selalu bilang harus tepat isu, tepat sasaran, dan tepat waktu. Maka lakukanlah itu,” katanya pada rapat dengar pendapat umum Panitia Kerja RUU KUP Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (14/7/2021).
Haula menjelaskan bahwa dalam latar belajang itu juga disebutkan RUU KUP dibuat akibat selama ini tingkat kepatuhan wajib pajak rendah.
Pemerintah dalam RUU KUP mengusulkan pola yang serupa dengan program pengampunan pajak (tax amnesty) tapi menggunakan istilah berbeda. Namanya adalah kepatuhan sukarela.
Akan tetapi sistem yang sama dengan tax amnesty itu jadi pertanyaan karena yang sebelumnya apakah bisa dikatakan berhasil. Haula meminta jangan sampai kesalahan yang sama terulang.
Baca Juga
Dia juga mempertanyakan apakah tidak ada solusi lain dari pemerintah sehingga harus memakai pola yang hampir sama dengan tax amnesty.
Di sisi lain, pemerintah selalu membanggakan tax amnesty berhasil dan yakin dunia akan belajar dari Indonesia mengenai itu. Akan tetapi naskah akademi RUU KUP menyebutkan kepatuhan wajib pajak rendah.
“Maka narasi yang ditulis dalam naskah akademik itu menjadi pertanyan besar. Kok ada sesuatu yang inkonsisten antara apa yang diungkapkan pemerintah dengan apa yang ada di naskah akademik,” jelasnya.