Bisnis.com, JAKARTA - Perubahan sistem pemilihan umum (pemilu) menjadi serentak dan dimulai perdana pada 2019 diharapkan dapat menghemat anggaran penyelenggaraan jika dikomparasi dengan dipisah.
Akan tetapi pada kenyataannya sebaliknya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat ada pemborosan dengan total sekitar Rp171 miliar.
Berdasarkan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II/2020 yang diterbitkan BPK, efektivitas penyelenggaraan pemilu serentak diukur dari pencapaian tujuan organisasi. Adapun akuntabilitas, berhubungan dengan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kegiatan.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan masih terdapat kekurangefektifan dan kelemahan akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019,” tulis IHPS sebagaimana dikutip Bisnis, Jumat (25/6/2021).
Kekurangefektifan penyelenggaraan pemilu, papar IHPS antara lain timbul dari pendistribusian logistik pemilu tidak sepenuhnya dilakukan secara tepat waktu, jumlah, dan sasaran.
Kelemahan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu serentak akibat pertanggungjawaban honorarium badan penyelenggara dan honorarium output kegiatan tidak sesuai ketentuan.
Lalu ada pembayaran atas kegiatan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih dalam negeri yang tidak sesuai ketentuan. Terakhir, perencanaan dan pelaksanaan pengadaan serta distribusi logistik yang belum sesuai ketentuan.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan pula bahwa terdapat pemborosan dalam pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 sebesar Rp165,45 miliar, MYR439.030 [Rp3,79 juta], KRW6,60 juta [Rp84,53 juta], dan AUD504.000 ribu [Rp5,53 miliar],” papar IHPS.
Pemborosan tersebut akibat pembiayaan pelaksanaan kegiatan pencocokan dan penelitian, pembayaran honorarium output kegiatan, pembentukan tempat pemungutan suara luar negeri (TPSLN) di luar premis yang tidak digunakan, serta pengiriman surat suara melalui pos dengan alamat yang tidak valid dan tidak kembali ke Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).