Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gawat! Utang Pemerintah yang Menggunung Berpotensi Picu Krisis Ekonomi

Menurut ekonom senior Didik J. Rachbini, kebijakan politik ekonomi anggaran usulan presiden dan keputusan di DPR itulah yang menjadi penyebab utang sangat besar sekarang dan defisit menjadi sangat lebar
Ekonom Senior Indef Didik J. Rachbini. /Bisnis.com
Ekonom Senior Indef Didik J. Rachbini. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Utang pemerintah yang mengalami peningkatan signifikan dan jika terus dibiarkan berpotensi menjadi pemicu krisis ekonomi.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini berpendapat penanganan pemerintah terhadap pandemi Covid-19 telah kaprah sejak awal.

Menurutnya, langkah pemerintah yang memperbolehkan angka defisit APBN melebar di atas 3 persen hingga 2022 merupakan keputusan yang terburu-buru.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang pemerintah pada 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun, naik signifikan dari Rp4.778 triliun pada 2019. Defisit APBN pada 2020 juga melebar menjadi 6,09 persen dari 1,84 persen pada 2019.

“Jadi, kebijakan politik ekonomi anggaran usulan presiden dan keputusan di DPR itulah yang menjadi penyebab utang sangat besar sekarang dan defisit menjadi sangat lebar,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis, Kamis (24/6/2021).

Didik berhitung, utang yang menjadi tanggungan pemerintah tidak hanya di APBN yang mencapai Rp6.527 triliun per April 2021, tetapi juga utang BUMN sebesar Rp2.143 triliun.

Utang BUMN tersebut, jika dirincikan, jumlah utang bumn keuangan mencapai Rp1.053,18 triliun dan BUMN nonkeuangan mencapai Rp1.089,96 triliun, sehingga total utang pemerintah saat ini mencapai Rp8.670 triliun.

“BUMN juga diminta dan dibebani tugas membangun infrastruktur. Jika gagal bayar atau bangkrut harus ditanggung APBN, sehingga menjadi bagian dari utang pemerintah,” jelasnya.

Dia pun memprediksi warisan utang Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke presiden berikutnya bisa mencapai Rp10.000 triliun.

Jika kondisi ini dibiarkan, Didik mengatakan APBN akan mengalami kelumpuhan karena terlilit beban utang dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar.

“APBN bisa menjadi pemicu krisis ekonomi. Kalau 20 tahun lalu krisis 1998 dipicu oleh nilai tukar, maka sekarang bisa dipicu oleh APBN yang berat digabung dengan krisis pandemi karena pandangan yang salah kaprah sejak awal. Jadi, gabungan dari kedua faktor itu berpotensi memicu krisis,” tuturnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper