Bisnis.com, JAKARTA - Desakan masyarakat dan berbagai pihak agar pemerintah bertindak tegas dalam menangani Covid-19 dengan kebijakan yang lebih ketat, yakni melakukan lockdown, direspon dengan keresahan dari lima gubernur.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyebut jika Lockdown diterapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah Jawa Barat belum siap untuk menanggung ketersediaan pangan untuk masyarakat dan meminta bantuan dari pusat.
“Dan kami dari jabar, anggaran memang sudah tidak ada. Kalaupun itu diadakan, kepastian dukungan logistik dari pemerintah pusat harus betul-betul sudah siap, baru kami akan terapkan di Jabar,” ujarnya.
Senada dengan Kang Emil panggilan akrab Ridwan Kamil, Gubernur DIY Yogyakarta Sri Sultan HB X menegaskan daerahnya bahwa tidak memungkinkan melakukan lockdown secara total lantaran pemerintah tidak kuat menanggung untuk menutup aktivitas masyarakat secara total.
“Ya enggak [lockdown] to, enggak ada kalimat [akan menetapkan kebijakan] lockdown, saya enggak kuat suruh ngragati [membiayai] rakyat se-DIY,” katanya usai rapat bersama Bupati dan Wali Kota di Kompleks Kepatihan, Senin (21/6/2021) petang.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sampai saat ini belum mengeluarkan statement terkait permasalahan isu lockdown ini. Namun, Sekretaris Badan Pendapatan Daerah Pilar Hendrani menuturkan kondisi keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini dalam kondisi tidak baik.
Baca Juga
"Kalau [anggaran] dibilang ada ya ada, tetapi sekarang kondisi keuangan DKI tidak bisa bohong juga kalau faktanya dalam kondisi yang tidak baik,” kata Pilar melalui sambungan telepon kepada Bisnis, Senin (21/6/2021).
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menegaskan wilayahnya tidak akan melakukan lockdown. Dia memilih opsi PPKM mikro ketat dan jika ada kluster, pemerintah daerah akan melakukan mikro lockdown, seperti di Malang dan Pasuruan.
“Nggak, enggak tidak ada lockdown. Katakan itu kalau sekarang mikro lockdown. Jadi sekarang ada mikro lockdown di Pasuruan, mikro lockdown di Malang,” kata Khofifah.
Langkah serupa juga diambil Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dia mengaku telah memerintahkan bupati dan wali kota di zona merah Covid-19 menerapkan mikro lockdown.
"Saya minta mikro zonasinya dipelototin. Bahkan kita sekarang sudah sampai lockdown mikro. Saya sudah sampaikan pada teman-teman bupati dan wali kota tidak usah ragu," tegasnya, Selasa (22/6/2021).
Dia juga memerintahkan seluruh kepala daerah untuk melakukan peningkatan kapasitas tempat tidur, baik ICU dan isolasi di rumah sakit hingga tempat isolasi terpusat.
Penolakan lockdown datang dari Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. Dia menegaskan Sumatera Utara tidak memerlukan lockdown karena kebijakan tersebut bisa berdampak terhadap perekonomian masyarakat.
"Saya dari awal tak membahas lockdown. Akibat dari Covid-19 itu persoalan ekonomi. Akibat dari ekonomi kita menjadi seteru sosial," kata Edy kemarin, Selasa (22/6/2021).
Selain itu, dia melihat penerapan lockdown juga akan memakan biaya yang sangat besar. "Persoalan lockdown ini biayanya tinggi. Itu siapa yang bisa mengawasi. Sumut banyak pintu tikus, contoh dari Tebing Tinggi ke Medan di lockdown di situ, lewat gunung dia bisa. Tak bisa seperti itu, jangan latah orang lockdown. Sumut juga lockdown," jelasnya.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Iskandar Simorangkir mengungkapkan aspek kesehatan dan ekonomi sama pentingnya. Pemerintah tentunya memilih aspek kesehatan. Tapi, di sisi lain, pemerintah tidak ingin masyarakat kelaparan. Oleh karena itu, pemerintah mengalokasikan dana PEN.
"Kita menghargai berbagai pandangan orang yang tentang lockdown, tapi ini virusnya masih di sini terus. Kita lockdown sekarang nanti penularan berikutnya, seterusnya begitu, biayanya itu sangat mahal sekali," katanya, Rabu (23/6/2021).
Biaya Mahal
Presiden Joko Widodo pernah membuka soal anggaran yang dibutuhkan untuk membiayai seluruh kebutuhan masyarakat DKI Jakarta beberapa bulan lalu, jika harus melakukan lockdown di ibu kota. Dalam program TV, dia mengemukakan anggarannya mencapai Rp550 miliar per hari.
"Jakarta saja pernah kami hitung-hitungan per hari membutuhkan Rp550 miliar. Hanya Jakarta saja. Kalau Jabodetabek tiga kali lipat. Itu per hari," ungkap Jokowi.
Bukan biaya penanganannya saja yang mahal, tetapi kerugian yang harus ditanggung negara mencapai ribuan triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Covid-19 membuat tekanan yang luar biasa terhadap perekonomian Indonesia. Pandemi membuat Negara kehilangan potensi keuangan ribuan triliun.
“Kalau kita estimasi dari hilangnya kesempatan kita untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 sebelum Covid-19 yang ditargetkan 5,3 persen kemudian berakhir minus 2 persen, nilai ekonomi yang hilang akibat pandemi sebesar Rp1.356 triliun,” katanya pada Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2021, Kamis (29/4/2021).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa angka itu setara dengan 8,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2020. Besarnya, belanja ini karena pemerintah melakukan kebijakan menjaga kestabilan (countercyclical) untuk menahan dampak negatif Covid-19 terhadap ekonomi.
Tahun lalu, buktinya, belanja negara bertambah Rp284,2 triliun atau naik 12,3 persen dibandingkan tahun 2019. Di sisi lain, pendapatan negara mengalami penurunan yang cukup dalam, yaitu Rp312,8 triliun. Angka ini turun 16 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kondisi ini juga membuat utang neto bertambah Rp1.226,8 triliun atau setara dengan 7,8 persen dari PDB 2020. Kemudian beban bunga bertambah Rp38,6 triliun dengan total Rp314,1 triliun.