Bisnis.com, JAKARTA - Linimassa di media sosial dibanjiri oleh komentar terkait dengan berita kasus Covid-19 yang meningkat hingga pemerintah daerah yang buka suara soal anggaran tidak cukup untuk melakukan lockdown wilayah.
Dari kabar-kabar tersebut, satu yang menarik perhatian netijen, yakni komentar dari Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono mengatakan Indonesia baik masyarakat dan pemerintahnya sudah lama dalam kondisi herd stupidity atau kebodohan komunal dalam menyikapi Covid-19.
"Indonesia sudah lama dalam kondisi "Herd Stupidity". Perilaku Manusianya yang dorong replikasi virus, memperbanyak diri dan berubah menjadi lebih mudah menular. Manusia yang mendapat amanah jadi pejabat dan manusia-manusia lain yang tidak berperilaku 5M dan enggan divaksinasi," ujar Pandu dalam akun Twitter-nya.
Dia menyayangkan pemerintah dan masyarakat yang abai, salah satunya larangan mudik atau berpergian yang kurang ketat. Akibatnya, angka kasus Covid-19 bertambah 14.536 orang pada Senin (22/06/2021). Kini, jumlah kasus Covid-19 mencapai 2 juta kasus.
Dalam 2 minggu terakhir, rata-rata pasien positif bertambah 10.000 orang per hari.
Sementara itu, laju vaksinasi Indonesia masih di bawah 1 juta per hari. Jauh dari harapan Presiden Jokowi.
Baca Juga
Dari data Bloomberg Vaccine Tracker, rata-rata vaksinasi di Indonesia dalam 7 hari hingga 20 Juni lalu hanya mencapai 507.957 dosis per hari.
Pemerintah baru pada awal minggu ini mengumumkan untuk melakukan pengetatan PPKM Mikro.
Indonesia sudah lama dalam kondisi "Herd Stupidity". Perilaku Manusianya yg dorong replikasi virus , memperbanyak diri dan berubah menjadi lebih mudah menular. Manusia yg mendapat amanah jadi pejabat dan manusia-manusia lain yg tidak berperilaku 5M & enggan divaksinasi. pic.twitter.com/sDPSESJJZ8
— Juru Wabah ?? (@drpriono1) June 20, 2021
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto mengatakan PPKM mikro yang lebih ketat akan dilakukan pada 22 Juni hingga 5 Juli 2021.
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto mengatakan bahwa aktivitas di restoran, kafe, dan sejenisnya baik itu di pasar maupun mal hanya boleh terisi 25 persen dari total kapasitas.
“Sisanya take away atau bawa pulang,” katanya pada konferensi pers virtual, Senin (21/6/2021).
Airlangga menjelaskan bahwa layanan pesan antar atau makanan yang dibawa pulang hanya bisa dilakukan sampai pukul 20.00 sesuai dengan jam operasi restoran.
“Kegiatan di pusat belanja, mal, atau pasar jam operasional sampai jam 20.00 dan pembatasan pengunjung 25 persen dari kapasitas,” jelasnya.
Airlangga yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menuturkan bahwa kegiatan perkantoran baik kementerian/lembaga maupun BUMN dan BUMD di zona merah wajib menerapkan bekerja di rumah atau work from home 75 persen.
“Sedangkan bekerja di zona non merah itu 50 persen dengan penerapan protokol kesehatan ketat,” ucapnya.
Sementara itu, sektor esensial seperti industri, utilitas publik, proyek vital nasional, dan tempat kebutuhan pokok masyarakat diizinkan beroperasi 100 persen dengan penyesuaian jam operasional serta protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19.
Sayangnya, kebijakan ini menuai banyak kritik. Sejumlah ekonom menilai pemerintah seharusnya memilih langkah yang lebih ketat, yakni lockdown atau PSBB.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat bahwa kebijakan yang baru ditetapkan pemerintah tersebut tidak jauh berbeda dari peraturan PPKM mikro sebelumnya.
Oleh karena itu, dia melihat pengetatan PPKM mikro tidak akan terlalu berdampak pada mobilitas masyarakat yang mengalami peningkatan akhir-akhir ini. Di sisi lain, pengawasan pemerintah terhadap penerapan PPKM mikro juga dinilai masih sangat longgar selama ini.
“PPKM mikro dan pengetatan yang sekarang perbedaannya tipis, misalnya jam operasional pusat perbelanjaan dan restoran dibatasi dari yang sebelumnya pukul 21.00 menjadi 20.00, mobilitas masyarakat pasti akan tetap terjadi,” katanya kepada Bisnis, Senin (21/6/2021).
Justru, Tauhid menilai kebijakan baru yang ditetapkan pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah masih lebih mementingkan sisi ekonomi dibandingkan kesehatan.
Dikhawatirkan, kasus Covid-19 akan terus mengalami peningkatan karena masyarakat masih tetap dapat beraktivitas di luar rumah tanpa adanya kontrol yang ketat dari pemerintah.
Kepala Daerah bereaksi mendengar isu lockdown yang beredar. Gubernur Jawa Barat Ridwan menilai istilah lockdown tidak ada, yang ada itu PSBB.
Dia siap jika harus mengikuti arahan pemerintah pusat, tetapi Jawa Barat perlu melakukan kesiapan, terutama kesiapan pangan. Di sisi lain, dia mengaku tidak memiliki anggaran.
"Kami dari Jawa Barat, anggaran memang sudah tidak ada," ujarnya.
Sementara itu, Gubernur DIY Yogyakarta Sri Sultan HB X, bahwa tidak memungkinkan melakukan lockdown secara total lantaran pemerintahnya tidak kuat menanggung untuk menutup aktivitas masyarakat secara total.
“Ya enggak [lockdown] to, enggak ada kalimat [akan menetapkan kebijakan] lockdown, saya enggak kuat suruh ngragati [membiayai] rakyat se-DIY,” katanya usai rapat bersama Bupati dan Wali Kota di Kompleks Kepatihan, Senin (21/6/2021)
Lain hal dengan kedua Pemerintah Daerah tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sampai saat ini belum mengeluarkan statement terkait permasalahan isu lockdown ini.
Namun, Sekretaris Badan Pendapatan Daerah Pilar Hendrani menuturkan kondisi keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini dalam kondisi tidak baik.
"Kalau [anggaran] dibilang ada ya ada, tetapi sekarang kondisi keuangan DKI tidak bisa bohong juga kalau faktanya dalam kondisi yang tidak baik,” kata Pilar.
Program vaksinasi karyawan bandara PT Angkasa Pura I
Presiden Joko Widodo pernah membuka soal anggaran yang dibutuhkan untuk membiayai seluruh kebutuhan masyarakat DKI Jakarta beberapa bulan lalu. Dalam program TV, dia mengemukakan anggarannya mencapai Rp550 miliar per hari.
Jakarta saja pernah kami hitung-hitungan per hari membutuhkan Rp 550 miliar. Hanya Jakarta saja. Kalau Jabodetabek tiga kali lipat. Itu per hari," ungkap Jokowi.
APBN Kuat
Lantas bagaimana dengan pemerintah pusat?
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan program pemulihan ekonomi nasional untuk penanganan Covid-19 untuk kesehatan telah terserap Rp39,55 triliun hingga akhir pekan lalu. Realisasi ini 22,9 persen dari pagi Rp172,84 triliun.
“Ini menjadi sangat penting. Kita telah menyiapkan pagu yang cukup. Apalagi sekarang kita menghadapi kenaikan kasus Covid-19 sehingga ini bisa digunakan untuk menangani dan mengantisipasi Covid-19,” katanya melalui konferensi pers virtual, Senin (21/6/2021).
Suahasil menjelaskan bahwa anggaran kesehatan digunakan untuk program mulai dari diagnosa Covid-19 hingga cadangan imunisasi reguler.
“Kita punya anggaran [APBN] yang cukup. Tentu perlu dipakai dengan tata kelola yang berlaku dan baik,” tegasnya.
Sebagai catatan, realisasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga 18 Juni 2021 telah mencapai Rp 226,63 triliun. Angka itu setara dengan 32,4 persen dari total pagu anggaran Rp699,43 triliun. Artinya, pemerintah masih memiliki ruang yang cukup untuk menangani pandemi yang masih menghantui ini.
Di sisi lain, Sri Mulyani juga menegaskan bahwa pemerintah akan mengembalikan dana desa, terutama untuk menjaga dan mendukung PPKM Mikro.
"Tampaknya dengan peraturan ini banyak desa harus ubah APBDes dan proses ini tidak secepat yang kita harapkan sehingga penyaluran terhalang,” jelasnya.
Kendati dikembalikan, daerah masih harus mengubah APBDes. Tentu saja ini akan menjadi kendala bagi pemerintah di daerah untuk menangani Covid-19.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menegaskan pemerintah bisa menyetop dulu semua belanja infrastruktur. Perlu ada realokasi ekstrem jika akan melakukan lockdown.
"Estimasinya dengan anggaran infrastruktur Rp413 triliun yang dihemat saja akan banyak suport untuk lakukan lockdown," ujarnya.
Selain itu, dia mendesak pemerintah membatalkan belanja perjalanan dinas Work from Bali karena dinilai tidak penting dalam situasi saat ini.
Melihat kondisi saat ini, pemerintah tidak memiliki banyak opsi. Mengadu narasi antara kesehatan dan ekonomi, menjadi kurang bijak. Bahkan, berdiri di antaranya pun berisiko.
Satu-satunya jalan, pemerintah harus memilih masyarakat atau ekonomi yang sakit. Berkaca dari China, pemerintah Xi Jinping mengambil langkah tegas sejak awal, bahwa kesehatan menjadi prioritas utama. Terbukti, pilihannya tepat, ekonomi China bangkit paling awal dan mencetak pertumbuhan luar biasa. Jadi pilih yang mana Pak Jokowi?