Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi inklusif kian menjadi konsep yang mengarus utama, baik di kalangan pemikir, penggiat maupun pemangku kebijakan ekonomi. Intinya, semua sudah sepakat bahwa pertumbuhan tinggi saja tidak cukup.
Pertumbuhan ekonomi dinilai berkualitas bukan hanya strukturnya bagus tetapi juga jika melibatkan dan memberi manfaat pada pihak yang tertinggal, terutama masyarakat ekonomi lemah (the bottom of pyramid/BOP) dan perempuan.
McKinsey memberi catatan, ekonomi inklusif bukan hanya soal kesejahteraan bersama sebagai hasil, melainkan juga soal inklusivitas proses, yakni bagaimana masyarakat BOP itu sendiri ikut terlibat memperjuangkan hasil. Acemoglu dan Robinson (2011) juga melihat pentingnya keterlibatan masyarakat di segala lapisan dalam mendukung suksesnya pembangunan suatu bangsa.
Dalam konteks itu penulis mencermati ada fenomena menarik, yakni bagaimana masyarakat BOP menggeliatkan ekonomi menggunakan platform media sosial dan marketplace. Ini bukan tentang para pembuat platform yang mendapatkan suntikan investasi jutaan dolar. Juga bukan tentang youtuber, influencer, atau endorser yang pendapatan pribadinya bisa mencapai miliaran rupiah per bulan.
Ini adalah tentang pelaku ekonomi skala mikro dan kecil di sektor tradisional, seperti pertanian, peternakan, perikanan, atau industri rumah tangga. Mereka tetap tinggal di pedesaan, tetapi berusaha naik kelas menggunakan teknologi digital yang tersedia.
Hampir tak ada platform yang diabaikan oleh para pelaku bisnis mikro dan kecil ini. Youtube, Facebook, Instagram, Tiktok, atau Whatsapp, misalnya, semuanya dimanfaatkan dengan baik.
Apalagi platform yang jelas terkait bisnis seperti marketplace, jasa logistik, atau jasa keuangan. Semuanya dimanfaatkan untuk memudahkan mereka dalam berbisnis.
Mari kita lihat apa yang mereka lakukan. Pertama, mereka menggunakan media sosial sebagai sarana ideasi. Di Youtube, Facebook, atau Instagram banyak yang membagikan ide pengalaman bisnisnya dan di sisi lain memang ada yang ‘membeli’ gagasan itu.
Banyak ide dan pengalaman yang sebenarnya sederhana semisal menanam porang, membotolkan jus lemon, atau membekukan alpukat. Namun bagi yang membutuhkan, hal itu sungguh ide terobosan.
Kedua, media sosial juga menawarkan sumberdaya untuk upskilling. Di media sosial konten yang cukup laris adalah panduan, termasuk yang terkait dengan bisnis mikro dan kecil, mulai dari yang bersifat core business sampai dengan bisnis pendukung. Kembali lagi, banyak konten yang terasa terlalu sepele bagi pebisnis modern. tetapi bagi pebisnis mikro panduan bisa bernilai eureka.
Ketiga, media sosial adalah sarana untuk membangun jaringan (networking). Di Facebook kita bisa menemukan grup atau komunitas apapun, mulai dari komunitas petani lokal, pedagang pasar induk, sampai komunitas truk pengangkut sayuran.
Youtube tidak dimaksudkan sebagai kanal jejaring social tetapi dalam kenyataannya menjadi seperti itu. Tidak sulit membayangkan, bagaimana mereka memanfaatkan jejaring seperti itu untuk tujuan bisnis.
Keempat, media sosial dan digitalisasi juga berhasil membuka akses pasar langsung yang lebih luas dan memperpendek rantai pasokan yang berpotensi mengakselerasi pertumbuhan usaha.
Berkat platform pemasaran seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Alibaba, para pelaku bisnis mikro mampu memperluas pasar, bahkan hingga tingkat internasional. Data dari Alibaba.com menunjukan sudah ribuan pebisnis asal Indonesia yang menggunakan platform itu, termasuk pebisnis mikro perorangan, semisal penjual bubuk rempah dalam unit minimal ratusan gram, gula aren dalam unit satu kilogram sampai dengan ubi ungu yang melayani pemesanan 5 kg.
Dalam perspektif makro, kita cenderung melihat fenomena ini sambil lalu, karena skalanya kecil. Terhadap persoalan masyarakat BOP kita cenderung mencari ‘solusi mudah’ dengan bantuan langsung tunai (BLT).
Tentu saja kita tidak anti ada konsep BLT. Namun perlu diingat, BLT bukan solusi yang sustainable. Di sisi lain masyarakat BOP memerlukan lebih dari uang, yaitu kemandirian yang berkelanjutan. Ada banyak target kemanusiaan yang akan berat untuk diselesaikan dengan BLT saja.
Yang menarik adalah, ada indikasi kuat kelompok BOP sudah memiliki geliatnya sendiri. Dengan caranya sendiri mereka sudah merespon digitalisasi secara positif. Ada indikasi kuat mereka bisa mengangkat perekonomian tradisional ke level berikutnya, bahkan berhasil mengangkat citra dan daya pikat ekonomi tradisional.
Ada beberapa pesan dari fenomena ini. Pertama, sajian fakta ini bukan untuk mengatakan bahwa pertumbuhan kita sudah berkualitas, karena problem BOP masih jauh dari selesai.
Sajian ini lebih untuk mengingatkan bahwa di sini ada peluang yang bisa diekskalasi pada skala yang lebih luas dan lebih masif, dengan metode copy-cat sekalipun, untuk menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Kedua, pengembangan infrastruktur digital dan koordinasi kebijakan ekonomi antar otoritas sudah sangat mendukung, sehingga tantangannya lebih banyak berada di lapangan. Minimal ada dua pihak yang berpeluang menyambut dan mengoptimalkan umpan tersebut, yakni pemerintah daerah bersama SKPD-nya, dan kalangan penggiat social enterprise. Kedua kekuatan ini bahkan bisa berkolaborasi, misalnya melalui BUMD atau BUMDes.