Bisnis.com, JAKARTA - Seluruh elemen industri hasil tembakau (IHT) nasional menyatakan menolak revisi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Industri meminta Presiden Joko Widodo menghentikan rencana penyusunan kebijakan tersebut karena akan mengancam keberlangsungan IHT dan mata rantainya.
Sebanyak 12 elemen mata rantai IHT menandatangani pernyataan sikap penolakan revisi PP 109/2012. Mereka adalah Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Asosiasi Petani tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan Pemuda Tani Indonesia HKTI.
Lalu, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman SPSI (FP RTMM SPSI), Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Gabungan Produsen Rokok Surabaya (GAPROSU), Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI), Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Perokok Bijak, dan Komunitas Kretek.
Ketua Umum AMTI Budidoyo mengatakan bahwa ada tiga poin besar dalam sikap tersebut. Pertama, revisi PP 109/2012 bukan termasuk dalam regulasi yang diprioritaskan dalam Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2021 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah.
Kedua, jalur prakarsa merupakan mekanisme untuk mendorong suatu peraturan karena situasi darurat. Faktanya sampai hari ini kedaruratan revisi PP 109/2012 masih dipertanyakan. Terlebih, pemangku kepentingan IHT tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan.
Baca Juga
Hal ini mengkhianati amanah peraturan dan perundang-undangan karena pemerintah seharusnya mengkonsultasikan kebijakan yang berdampak pada mata rantai IHT kepada para pemangku kepentingannya.
“Poin ketiga, kami memohon kepada Presiden RI untuk menghentikan seluruh diskusi ataupun rencana revisi PP 109 Tahun 2012 karena mengancam keberlangsungan IHT dan mata rantainya,” katanya melalui keterangan pers, Rabu (9/6/2021).
Budi menjelaskan bahwa penolakan dari elemen IHT didasari beberapa pertimbangan. Pertama, fakta bahwa sampai hari ini tidak ada satu pun pemangku kepentingan IHT yang dilibatkan dalam diskusi revisi PP tersebut.
Proses penyusunan kebijakan memang seperti sengaja dilakukan secara diam-diam, tertutup, serta tanpa mengindahkan amanah peraturan dan perundang-undangan.
Lalu, kebijakan pengendalian tembakau saat ini sudah mengatur berbagai poin untuk membatasi iklan media luar ruang, iklan televisi, tempat khusus merokok yang terpisah, dan larangan menjual rokok kepada ibu hamil dan anak di bawah 18 tahun.
Selain itu, saat ini kinerja IHT pada 2020 sudah turun sebesar 9,7 persen akibat kenaikan cukai tinggi, dampak pandemi, serta regulasi yang terus menekan sehingga menimbulkan ketidakpastian usaha. Hingga April 2021, sektor IHT masih mengalami penurunan sebesar 6,6 persen.
Ketua KNPK Muhammad Nur Azami menjelaskan bahwa dampak yang ditimbulkan dari revisi PP 109/2012 ini sangatlah dahsyat karena bukan hanya menghajar sistem bisnis industri melainkan juga mendeterminasi faktor sosial dari pelaku industri hulu ke hilir.
Menurutnya, benang merah yang dihasilkan dari revisi PP 109 ini adalah menghajar bisnis pabrik rokok dengan kebijakan larangan-larangan yang berkaitan dengan pemasaran, distribusi dan perdagangan.
Kemudian, aturan ini menghajar konsumen dengan pembatasan-pembatasan terhadap akses produk hasil tembakau dan stigmatisasi buruk di lingkungan sosial masyarakat.
“Di hulu, petani tidak dapat menjual tembakau dan cengkeh sehingga mereka terpaksa untuk berhenti menanam tembakau,” paparnya.