Bisnis.com, JAKARTA - Setelah menimbulkan polemik dan memicu perdebatan, pemerintah akhirnya memunculkan opsi khusus terkait dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPn) untuk kebutuhan pokok menjadi 12 persen, di luar skenario multitarif yang diusulkan sebelumnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, otoritas fiskal berencana memberikan perlakuan khusus di luar tiga skenario multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pertama, menerapkan tarif PPN umum untuk kebutuhan pokok, yakni sebesar 12 persen sebagaimana termuat di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif rumusan otoritas fiskal yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP). Ketiga, menggunakan tarif PPN Final yang oleh pemerintah diusulkan sebesar 1 persen.
Sejalan dengan besarnya penolakan dari masyarakat, pemerintah akhirnya membuka opsi tambahan yakni penerapan tarif khusus untuk kebutuhan pokok yakni sebesar 0,5 persen. Tarif itu akan dikenakan kepada barang kena pajak (BKP) yang tergolong barang strategis.
Selanjutnya, pemangku kebijakan akan memerinci jenis atau kriteria barang kebutuhan strategis. Nantinya, barang pokok memiliki tarif yang berbeda, yang besarannya tergantung pada kualitas produk tersebut.
Hal ini dinilai lebih adil mengingat antara masyarakat kelas atas dan bawah memiliki kualitas yang berbeda di dalam mengonsumsi kebutuhan pokok.
Opsi tambahan itu disusun untuk memproteksi daya beli masyarakat terutama kelas menengah ke bawah, tanpa mengabaikan misi utama RUU KUP yakni mendulang penerimaan pajak secara maksimal.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menyatakan belum bisa memberikan penjelasan secara detail terkait dengan tarif khusus untuk kebutuhan pokok.
“Terkait pertanyaan tersebut juga masih proses menunggu pembahasan,” katanya, Selasa (8/6/2021).
Pemerhati pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan sudah sepatutnya pemerintah memberikan tarif khusus yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif normal untuk kebutuhan pokok.
Namun, dia menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan tarif khusus maksimal sebesar 5 persen.
Fajry menjelaskan dalam konsep pajak kebutuhan pokok masuk ke dalam kategori vertical equity atau merit goods, yakni barang yang banyak dikonsumsi masyarakat kelas bawah dan/atau memberikan eksternalitas positif sehingga layak mendapatkan pengecualian.
Sebagai informasi, pemerintah memutuskan usulan tarif baru Pajak Pertambahan Nilai sebesar 12 persen, naik 2 persen dibandingkan dengan tarif yang selama ini berlaku yakni sebesar 10 persen. Tarif baru ini masuk ke dalam salah satu cakupan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Angka 12 persen diusulkan setelah otoritas fiskal melakukan pengkajian secara mendalam dari berbagai aspek. Di antaranya kondisi daya beli masyarakat, di mana pemerintah optimistis ada perbaikan mulai tahun ini sejalan dengan vaksinasi massal serta berbagai bantuan yang dikucurkan untuk mengerek konsumsi. Pertimbangan lain adalah perbandingan antara tarif PPN di kawasan lain yang relatif lebih tinggi.