Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diharapkan dapat menyederhanakan kebijakan struktur tarif cukai rokok di Indonesia yang saat ini dinilai sangat kompleks dan rumit.
Pasalnya, berdasarkan regulasi yang ada, struktur tarif cukai rokok saat ini terdiri dari 10 lapis (layer), sehingga memungkinkan perusahaan rokok besar membayar tarif cukai yang rendah, sehingga harga rokok menjadi terjangkau.
Hal tersebut seperti disampaikan Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri yang menilai bahwa dengan keterjangkauan harga rokok itu maka dapat berdampak pada peningkatan konsumsi rokok masyarakat, khususnya anak-anak atau penduduk usia di bawah 18 tahun.
“Untuk mengurangi keterjangkauan rokok, kebijakan cukai harus diiringi dengan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau,” ujar Faisal, Senin (31/5/2021).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, perokok laki-laki di Indonesia tertinggi di dunia dan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia, setelah India dan China.
Selain itu, prevalensi merokok di kalangan anak-anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018 (data Riskesdas 2018).
Menurutnya harga rokok yang murah juga dapat berkontribusi bagi semakin meningkatnya tingkat kemiskinan di Indonesia.
Selain itu, kerumitan struktur tarif cukai rokok juga telah menimbulkan sejumlah persoalan lainnya.
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho menambahkan, kerumitan itu memungkinkan perusahaan rokok besar melakukan tax avoidance dengan cara membayar tarif cukai rokok yang lebih rendah sehingga penerimaan negara menjadi tidak optimal.
Pemerintah yang sudah menyadari hal ini pada Permenkeu No.146/2017 telah membuat roadmap penyederhanaan struktur tarif cukai rokok. Namun baru setahun berjalan, roadmap ini dibatalkan pada 2019.
"Pembatalan ini menjadi sebuah pertanyaan tentang komitmen Pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, pembatalan roadmap penyederhanaan ini disinyalir berbagai pihak, terjadi akibat kuatnya intervensi dan lobby industri rokok.
Menurutnya saat ini, rencana penyederhanaan struktur tarif cukai rokok kembali masuk dalam agenda pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.
"Komitmen pemerintah untuk melakukan penyederhanaan ini perlu diawasi pelaksanaannya mengingat jika gagal diterapkan, maka keberadaan rokok murah akan terus marak," ujarnya.
Hal itu berpotensi menggagalkan Program Presiden Joko Widodo sebagaimana diatur dalam RPJMN 2020-2024, khususnya target prevalensi merokok untuk penduduk di bawah 18 tahun.
"Tidak saja berdampak pada prevalensi perokok remaja, kerumitan struktur tarif cukai rokok juga menyebabkan penerimaan negara dalam bentuk cukai menjadi tidak optimal," ujarnya.
Berdasarkan penelitian Bank Dunia, potensi penerimaan negara dari cukai rokok yang akan didapatkan dengan melakukan reformasi cukai pada 2020 mencapai 0.7% dari total PDB Indonesia.
Potensi penerimaan negara dari cukai ini diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan naiknya tarif cukai rokok.