Bisnis.com, JAKARTA - Kondisi PT Garuda Indonesia Tbk. masuk dalam periode gawat darurat lantaran dihantam pandemi Covid-19. Memasuki akhir semester I/2021, kinerja keuangan emiten berkode saham GIAA tersebut tidak kunjung membaik.
Bahkan, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, dalam pernyataannya kepada karyawan, mengungkapkan kondisi maskapai penerbangan pelat merah tersebut mengalami kondisi berat, berdasarkan laporan Bloomberg.
Lantas, apa saja masalah yang dialami oleh GIAA? Apa langkah penyelamatan yang akan dilakukan perusahaan dan otoritas perhubungan?
Simak 5 fakta kinerja Garuda Indonesia, mulai dari terlilit utang Rp70 triliun hingga penawaran pensiun dini bagi karyawan perusahaan.
1. Utang Rp70 Triliun
Irfan mengatakan Garuda Indonesia memiliki utang sebesar Rp70 triliun atau US$4,9 miliar. Jumlah utang tersebut bertambah lebih dari Rp1 triliun per bulannya seiring dengan penundaan pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada pada pemasok.
Baca Juga
"Saat ini arus kas GIAA berada di zona merah dan memiliki ekuitas minus Rp41 triliun," paparnya dikutip dari Bloomberg, Minggu (23/5/2021).
Dampak pandemi virus corona juga terasa pada penurunan harga sukuk Garuda Indonesia. Tercatat, selama sebulan terakhir harga sukuk yang diterbitkan GIAA senilai US$500 juta turun sekitar 7 sen ke 81. Level tersebut merupakan harga terendah sejak Januari 2021 lalu.
2. Penurunan Pendapatan
Berdasarkan laporan keuangan yang dikutip dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, GIAA tercatat mengalami rugi bersih sebesar US$1,07 miliar. Posisi tersebut berbanding terbalik dibandingkan catatan pada kuartal III/2019 saat GIAA meraup laba bersih US$122,42 juta.
Penyebab utama penurunan itu adalah anjloknya pendapatan dari penerbangan berjadwal yang menjadi sumber utama pendapatan perseroan. Kontribusi pendapatan dari penerbangan berjadwal pada kuartal III/2020 tercatat sebesar US$917,28 juta, jauh dibawah perolehan kuartal III/2019 sebesar US$2,79 miliar.
Penerimaan perusahaan dari sektor penerbangan tidak berjadwal juga anjlok cukup dalam. Perusahaan hanya mampu mencetak pendapatan US$46,92 juta berbanding torehan kuartal III/2019 senilai US$249,91 juta.
3. Pengurangan Armada
Garuda Indonesia dikabarkan akan melakukan restrukturisasi bisnis yang mencakup pengurangan jumlah armada pesawat hingga 50 persen. Salah satu bentuk restrukturisasi tersebut adalah melalui pengurangan armada pesawat.
“Kami memiliki 142 pesawat dan menurut perhitungan awal terkait dampak pemulihan saat ini, GIAA kemungkinan akan beroperasi dengan tidak lebih dari 70 pesawat,” ujarny dikutip dari Bloomberg, Minggu (23/5/2021).
4. Pensiun Dini
Akibat turbulensi kinerja keuangan, Garuda Indonesia kembali menawarkan program pensiun dipercepat alias pensiun dini yang efektif per 1 Juli 2021. Sebelumnya, program pensiun dini ini sudah berjalan di perusahaan tersebut pertengahan tahun lalu.
Penawaran pensiun dini tersebut tertuang dalam surat elektronik yang diterima para pegawai Garuda Indonesia pada Rabu, 19 Mei 2021 sekitar pukul 23.00 WIB. Berdasarkan isi surat elektronik, perencanaan pensiun dini itu diputuskan pada Rabu, 19 Mei 2021. Adapun email itu dikirim oleh Human Capital Management.
Dikutip dari Tempo, informasi mengenai penawaran pensiun dini itu dibenarkan oleh Presiden Asosiasi Pilot Garuda Muzaeni. Namun demikian, dia belum mengetahui berapa banyak orang yang akan ikut dalam program tersebut.
5. Reaksi Kemenhub dan Analis
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) belum menerima kabar terkait isu restrukturisasi yang akan dilakukan Garuda Indonesia. Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto mengaku belum menerima kabar resmi ataupun surat dari emiten penerbangan pelat merah berkode saham GIAA tersebut.
"Saya belum mendapatkan pernyataan resmi. Kalau mereka bersurat ke kita ya nanti kan ada penyesuaian-penyesuaian," katanya kepada Bisnis, Minggu (23/5/2021).
Sementara itu, Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada memaparkan, kinerja emiten di bidang penerbangan sedikit banyak dipengaruhi oleh jumlah penumpang serta frekuensi penerbangan yang dilakukan oleh sebuah maskapai. Masa pandemi virus corona yang masih berlangsung memang berdampak negatif bagi sejumlah sektor seperti penerbangan.
Hal tersebut juga dirasakan oleh Garuda Indonesia. Reza menuturkan, mobilitas masyarakat yang rendah di masa pandemi serta penutupan tempat-tempat wisata berdampak signifikan terhadap kinerja emiten penerbangan pelat merah tersebut.
“Langkah manajemen GIAA untuk memangkas jumlah armada operasional wajar dilakukan ditengah masa pandemi seperti saat ini,” katanya saat dihubungi, Minggu (23/5/2021).