Bisnis.com, JAKARTA — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan harus meningkatkan kehati-hatian dalam menjaga keamanan data pekerja. Belajar dari kebocoran data di BPJS Kesehatan, potensi hal yang sama terjadi di BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Koordinator Advokasi BPJS Watch sekaligus Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyebut besarnya risiko yang bisa melanda sektor ketenagakerjaan akibat kebocoran data diukur dari sejumlah indikator.
Indikator pertama, data di BPJS Ketenagakerjaan yang cukup terinci, meliputi data pekerja dan keluarganya. Terdapat 4 segmen kepesertaan di BPJS ketenagakerjaan, yaitu peserta penerima upah, bukan penerima upah (atau peserta mandiri), Pekerja Migran Indonesia dan, Pekerja Jasa Konstruksi.
Sementara untuk 3 segmen pertama, kata Timboel, data yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan juga cukup detail, termasuk data keluarga yang berhak mendapatkan manfaat. Dengan demikian, kebocoran data di badan tersebut akan memberikan dampak siginifikan terhadap sektor ketenagakerjaan RI.
Indikator berikutnya terkait dengan risiko kebocoran data yang berpotensi melanda BPJS Ketenagakerjaan adalah terdapat aplikasi bersama antara kedua badan tersebut. Saat ini, terdapat aplikasi berupa portal bersama, dengan jenis aplikasi web based.
Aplikasi tersebut merupakan portal pendaftaran badan usaha untuk mendaftar peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini dinilai membuat adanya risiko bersama dari kasus kebocoran 279 juta data peserta BPJS Kesehatan terhadap BPJS Ketenagakerjaan.
"Dengan adanya dugaan kebocoran data dari BPJS kesehatan dan adanya aplikasi bersama dengan BPJS ketenagakerjaan, tentunya BPJS ketenagakerjaan pun harus hati-hati dalam mengelola data. Persoalan tersebut harus mendorong institusi-institusi yang mengelola data publik untuk juga berhati-hati, jangan sampai mengalami nasib yang sama," ujar Timboel, Minggu (23/5/2021).