Bisnis.com, JAKARTA - Target Jepang untuk menyeimbangkan anggarannya pada tahun fiskal 2025 pada dasarnya berada di luar jangkauan. Upaya mendorong target ini yang terlalu keras berisiko menggagalkan pemulihan ekonomi Jepang.
“Ini sangat tidak mungkin,” kata Ayako Fujita, Anggota Panel Manajemen Utang Kementerian Keuangan Jepang, dilansir Bloomberg, Kamis (20/5/2021).
Langkah-langkah seperti pemotongan belanja atau kenaikan pajak untuk memenuhi tujuan tersebut akan memangkas 1 persen ekonomi setiap tahun dan oleh karena itu tidak mungkin.
Pernyataan panelis muncul di tengah desakan terus menerus oleh Menteri Keuangan Taro Aso bahwa Jepang berpegang teguh pada tujuan tersebut. Aso menegaskan kembali pendiriannya pada 30 April bahwa sasarannya penting untuk menjaga kepercayaan pasar pada komitmen negara untuk memperbaiki keuangannya dan untuk menghindari lonjakan pendapatan.
Perkiraan terbaru Dana Moneter Internasional menunjukkan beban utang publik Jepang dibandingkan dengan produk domestik bruto sebesar 256 persen, yang terburuk di antara negara-negara maju. Bahkan, sebelum lonjakan pengeluaran pemerintah selama pandemi, Kantor Kabinet Jepang memperkirakan negara itu akan gagal mencapai keseimbangan utama dekade ini.
Namun, begitu ekonomi mengabaikan dampak negatif pandemi, pemerintah harus menangani tugas mengelola utang negara yang terus meningkat, kata Fujita.
Baca Juga
Untuk melakukan itu, pemerintah perlu mulai membahas bagaimana pengeluaran tambahan akan dibayarkan dan kembali sejalan dengan Bank of Japan dalam upaya untuk menghasilkan inflasi.
“Kebijakan pemerintah seperti mengurangi biaya telepon seluler atau menawarkan insentif perjalanan dengan potongan harga menghalangi upaya BOJ untuk memacu inflasi,” kata Fujita.
Menurutnya, pemerintah harus mengambil tindakan untuk memicu, bukan meredam, inflasi, karena ini merupakan faktor signifikan dalam pengelolaan utang yang stabil.
Sementara kebijakan pengendalian kurva imbal hasil BOJ yang bertujuan untuk menghasilkan inflasi yang stabil membantu menekan biaya pinjaman pemerintah, hal itu pada akhirnya akan merusak manajemen utang. Itu akan terjadi melalui penurunan fungsi pasar obligasi yang dibutuhkan untuk kelancaran penerbitan utang dan dengan menurunkan ekspektasi inflasi, tambahnya.
Fujita juga bependapat membahas surat utang pemerintah bertenor 50 tahun atau penerbitan obligasi perpetual tidak masuk akal ketika volume perdagangan di sektor 20 tahun tidak berkembang sepenuhnya.
Selain itu, menerbitkan surat utang pemerintah yang lebih panjang akan menambah eksposur risiko jangka panjang bagi investor, yang tidak diinginkan untuk manajemen utang pemerintah yang stabil; membutuhkan pasar obligasi yang berfungsi lebih baik sebagai gantinya.
Adapun potensi efek samping terbesar dari pertumbuhan utang adalah risiko terhadap stabilitas sistem keuangan daripada imbal hasil obligasi pemerintah yang melonjak karena BOJ memiliki cengkeraman yang kuat melalui kurva pengontrol yield.
"Dengan pasar global yang berfokus pada kenaikan harga, inilah saat yang tepat untuk membicarakan tentang manfaat inflasi, yang dapat menurunkan jumlah utang yang sebenarnya," katanya.