Bisnis.com, JAKARTA - Harga kedelai di pasar domestik dipastikan masih akan rentan mengikuti perkembangan dinamika di pasar global.
“Kita sejauh ini masih tergantung pada pasokan kedelai impor, sehingga wajar saja jika harga di pasar domestik masih akan fragile [terhadap kenaikan harga],” ujar peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah dalam keterangan resminya, Senin (3/5/2021).
Kementerian Perdagangan memprediksi kenaikan harga kedelai masih bisa terjadi hingga Mei tahun ini. Tingginya permintaan kedelai dunia menjadi penyebab utama kenaikan harga. Beruntung kenaikan harga yang terjadi tak sampai menimbulkan gejolak harga di dalam negeri.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra sempat menyebutkan pemerintah bekerjasama dengan seluruh pemangku kepentingan industri untuk menjaga harga kedelai impor di tingkat pengrajin tahu dan tempe di kisaran Rp9.750 per kg—Rp9.900 per kg.
Adapun harga di tingkat gudang importir akan dijaga di kisaran Rp9.200/kg—Rp9.300/kg.
Lewat upaya ini maka harga tahu masih terus stabil di kisaran Rp650 per potong dan harga tempe di kisaran Rp16.000 per kg.
Baca Juga
“Meski saat ini terjadi sedikit kenaikan harga kedelai dunia, Kemendag menjamin stok kedelai penyediaan April 2021 masih cukup untuk memenuhi kebutuhan industri pengrajin tahu dan tempe nasional dengan harga yang stabil dan terjangkau,” ujar Syailendra.
Menurut Rusli, penggunaan dan konsumsi kedelai hasil impor sejauh ini masih menjadi pilihan karena sejumlah faktor yang mempengaruhi.
Salah satu faktor yang melatarbelakangi masih dipilihnya impor adalah rendahnya minat para petani untuk mengembangkan kedelai di lahan mereka. Lalu perbedaan kualitas kedelai yang diproduksi di Tanah Air dibandingkan kedelai impor yang dijadikan produk akhir seperti tahu dan tempe.
Rusli sepakat bahwa Indonesia harus mengendalikan ketergantungan pada kedelai impor. Dengan demikian, dibutuhkan sejumlah langkah strategis untuk memperluas budi daya kedelai di Tanah Ai yang nantinya bakal mengurangi tingkat ketergantungan pasar domestik terhadap kedelai impor.
Apalagi sejumlah penelitian telah mampu menghasilkan varietas-varietas kedelai unggul yang bisa ditanam di dalam negeri, dan tidak berbeda dengan kualitas kedelai impor.
“Namun untuk bisa switching atau beralih dari produk impor ke produk lokal, kita membutuhkan jalan yang panjang. Banyak sekali yang harus dikerjakan pemerintah. Misalnya, menyiapkan lahan, membuat petani berminat terhadap komoditas, menciptakan harga yang sesuai, termasuk persoalan tata niaga. Dibutuhkan waktu tak sebentar untuk mengurainya, dan memulai produksi kedelai lokal secara masif,” kata Rusli.
Untuk menghindari risiko fluktuasi harga yang signifikan dan berdampak pada para pengrajin bahan pangan berbahan baku kedelai, maka pemerintah harus menyiapkan solusi jangka pendek.
Menurut Rusli, pemerintah harus mengamankan pasokan kedelai dari negara-negara pengimpor yang memiliki komitmen tinggi sebagai solusi jangka pendek.
“Pemerintah juga harus melakukan diversifikasi sumber impor. Misalnya ke Uruguay, atau Brasil, atau India, agar pasokan kedelai untuk pasar lokal tetap terjamin,” ujarnya.
Terkait masih stabilnya harga produk kedelai dalam negeri di tengah kenaikan harga di pasar global, Rusli meyakini hal itu bisa terjadi karena pasokan kedelai domestik masih terselamatkan oleh kontrak pembelian untuk2-3 bulan ke depan.
“Nah sekarang harus cepat-cepat membuat agreement kontrak jangka panjang, kalau bisa untuk setahun ke depan. Atau setidaknya sampai akhir tahun ini,” imbuhnya.
Sejak kuartal IV/2020, telah terjadi kenaikan harga kedelai hingga 40 persen. Pada November 2020, harga kedelai di pasar global tercatat US$10,5 per gantang.
Pada awal April 2021 harga kedelai mencapai US$14,33 per gantang. Kenaikan kembali terjadi memasuki 1 Mei 2021 menjadi US$ 15,52 per gantang.