Bisnis.com, JAKARTA — McKinsey & Company menilai pengembangan energi terbarukan dan kendaraan listrik dapat menjadi salah satu kunci untuk memulihkan kembali sektor energi di Indonesia pascapandemi Covid-19.
Dalam laporan terbarunya yang berjudul Ten Ways to Boost Indonesia’s Energy Sector in A Postpandemic World, McKinsey & Company menyebutkan bahwa akibat pandemi Covid-19, permintaan terhadap energi di Indonesia secara keseluruhan dapat berkurang hingga 7 persen pada 2020 dan GDP juga menurun sebesar 1—4 persen.
Untuk memulihkan sektor energi Indonesia setelah pandemi dibutuhkan sejumlah langkah berani, keputusan sulit, dan investasi yang signifikan. Berdasarkan kajian McKinsey & Company setidaknya 10 gagasan untuk membalikkan sektor energi Indonesia dan memberikan nilai yang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial negara.
Senior Partner di McKinsey & Company Indonesia Khoon Tee Tan mengatakan bahwa salah satu gagasan tersebut adalah mendorong pengembangan energi terbarukan.
"Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan 6 kali lipat dari kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ada saat ini, tapi yang kami lihat sekarang ini kapasitas terpasang hanya bertambah sedikit-sedikit, masih sangat rendah," ujar Khoon dalam sebuah diskusi secara virtual, Rabu (21/4/2021).
Menurutnya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia memang masih menghadapi tantangan terkait harga yang belum kompetitif dibandingkan dengan harga listrik dari energi fosil. Harga listrik dari energi surya dan energi angin saat ini masih mahal dibandingkan dengan harga listrik dari energi batu bara dan gas.
Namun, dia memperkirakan harga dari energi surya, angin, dan baterai akan menurun dengan sangat cepat. "Dalam 10 tahun ke depan harga dari teknologi surya dan baterai diperkirakan bisa turun hingga 50 persen," katanya.
Untuk mengembangkan energi terbarukan tentunya memerlukan berbagai dukungan melalui promosi tarif yang adil dan efektif, merampingkan proses perizinan, memungkinkan pengadaan proyek PLTS skala besar, dan memberi insentif untuk energi terbarukan.
Di sisi lain, Indonesia juga tidak bisa mengabaikan tren penggunaan kendaraan listrik. McKinsey & Company menilai kendaraan listrik tidak hanya baik untuk lingkungan tetapi juga akan membantu mengurangi ketergantungan negara pada minyak.
Perusahaan konsultan dan manajemen global itu memperkirakan impor minyak bisa ditekan sebesar US$100 juta setahun untuk setiap satu juta mobil listrik di Indonesia.
Indonesia memiliki salah satu potensi pasar kendaraan listrik tertinggi di dunia, terutama kendaraan roda dua. Pada 2030, Indonesia diproyeksikan memiliki penjualan tahunan sebesar 1,2 juta kendaraan listrik roda dua, serta 3,7 juta kendaraan listrik roda dua dan tiga, dibandingkan dengan 1,5 juta kendaraan listrik roda empat.
Namun, upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik dinilai belum. Tanpa insentif, selisih total biaya yang ditanggung oleh pengguna kendaraan bermotor listrik dengan pengguna kendaraan berbahan bakar minyak masih terlalu lebar untuk sebagian besar pengguna saat ini.
Regulator bisa mempertimbangkan insentif bagi pembeli maupun produsen mobil kendaraan listrik untuk mendorong adopsi yang lebih cepat. Pemerintah juga bisa mencari cara untuk mendorong lebih banyak penelitian dan pengembangan domestik untuk sektor kendaraan listrik dan untuk menarik investor global di semua titik rantai pasok.
Peralihan ke kendaraan listrik akan berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia bangun dari krisis virus corona.