Bisnis.com, JAKARTA - Nikel menjadi salah satu bahan baku utama pembuatan baterai kendaraan listrik (electric vehilce/EV). Namun, untuk menjadi baterai kendaraan listrik butuh proses panjang dan investasi yang sangat banyak.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019, mengatakan jenis nikel yang bisa digunakan untuk baterai adalah Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), Mixed Sulphide Precipitate (MSP) dan Nickel Matte.
“Ketiga jenis produk tersebut bisa diolah lebih lanjut [refining] untuk menghasilkan NiSO4 dan CoSO4 untuk baterai,” katanya seperti dilansir dari akun media sosialnya, Rabu (7/4/2021).
Arcandra melanjutkan jenis nikel lainnya seperti Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferro Nickel (FeNi) banyak digunakan sebagai bahan stainless steel. Produksi NPI dan FeNi dihasilkan oleh smelter Blast Furnace (BF) dan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Dia menjelaskan hingga 2020, sebagian besar pengolahan biji nikel di Tanah Air berada pada jalur untuk memproduksi NPI dan FeNi, bukan pada jalur untuk baterai. Untuk jalur baterai, katanya, diperlukan teknologi hydro metallurgy yang sangat canggih dan rumit.
“Salah satu yang menjadi pilihan sampai hari ini adalah High Pressure Acid Leaching atau HPAL," paparnya.
Baca Juga
Menurut Arcandra, ada beberapa alasan yang membuat HPAL sangat jarang ditemukan di dunia. Pertama, butuh investasi sangat besar. Sebagai perbandingan, belanja modal atau capital expenditure (capex) untuk HPAL bisa 5 kali lebih mahal daripada RKEF untuk per ton nikel yang dihasilkan.
Kedua, tidak banyak perusahaan yang menguasai teknologi HPAL. Hanya perusahaan besar yang didukung dengan dana R&D besar yang mau fokus untuk mengembangkan teknologi HPAL.
Ketiga, teknologi proses yang rumit dan sangat bergantung pada kombinasi antarkomposisi biji nikel dan chemical yang digunakan untuk leaching. Kesesuaian ini yang menyebabkan desain smelter HPAL menjadi unik dan tidak bisa menggunakan filosofi Design One Build Many.
“Dengan kata lain, kesuksesan smelter HPAL di suatu negara belum tentu bisa diaplikasikan ke negara lain,” tambahnya.
Keempat, kata Arcandra, leaching chemical (H2SO4 misalnya) yang digunakan bersifat sangat corrosive pada autoclave di tekanan tinggi dan temperatur tinggi sehingga perlengkapan yang dipakai harus dari bahan yang anti korosi dan kadang memerlukan special alloys yang sangat mahal.
"Limbah dari proses leaching tidak ramah lingkungan. Ide untuk menyimpan limbah ini di laut dalam punya tantangan yang tidak mudah untuk direalisasikan," tambahnya.
Pemilik 6 paten di industri migas ini juga melanjutkan, dengan berbagai risiko yang tinggi dan biaya yang sangat besar, kesuksesan dari pembangunan smelter HPAL di dunia tidak terlalu tinggi hanya sekitar 25 persen.
"Apakah semua yang dibangun bisa beroperasi sesuai harapan? Apakah rencana capex dan opex tidak melebihi budget yang disetujui? Apakah komposisi mineral dari biji nikel sesuai dengan yang direncanakan? Dari data yang kami pelajari, tingkat kesuksesan dari smelter HPAL tidak lebih dari 25 persen," katanya.
Arcandra menambahkan smelter HPAL punya keunggulan. Salah satunya adalah bisa menggunakan biji nikel kadar rendah (limonite) sebagai feedstock-nya. Biji nikel jenis limonite ini juga kaya akan cobalt yang dibutuhkan untuk katoda baterai jenis Nickel Manganese Cobalt (NMC).
Dia berpendapat tidak ada jalan pintas untuk mendapatkannya selain memulai dengan kemampuan yang kita punya, kemudian bersungguh-sungguh mencari teknik dan formula terbaik. Untuk mengembangkan biji nikel, katanya, harus dilakukan laboratory test untuk metoda dan teknologi ekstraksi yang direncanakan.
“Selanjutnya lakukan pilot test dan baru memulai dengan membangun smelter-nya. Setiap proses memerlukan waktu dan setiap waktu memerlukan tenaga dan biaya. Tidak mudah," tutupnya.