Bisnis.com, JAKARTA — Nasib industri tekstil dan produk tekstil masih dibayangi ketidakpastian di tengah kekhawatiran belum pulihnya daya beli konsumen dan ancaman produk impor yang menggerus pangsa produk domestik.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil menyebutkan utilisasi industri mengalami kontraksi pada kuartal I/2021 setelah sempat mencapai level 70 persen pada kuartal IV/2020. Penyebabnya, serapan cenderung menurun karena harga produk yang naik imbas dari kenaikan harga bahan baku.
“Daya serap menurun karena harga bahan baku yang sempat naik tinggi sekali, karena harga minyak yang naik, harga serat dan polyester bisa naik 1,5 sampai 2 kali lipat dari harga awal,” kata Rizal, Rabu (21/4/2021).
Kenaikan ini lantas diikuti dengan kenaikan harga garmen. Pasar yang belum pulih seutuhnya menyebabkan penyerapan tak seperti harapan.
“Untuk tahun ini kami belum bisa memprediksi akan seperti apa, yang paling penting adalah bagaimana demand naik. Hal itulah yang bisa membuat industri tumbuh,” lanjutnya.
Rizal menyampaikan pula pentingnya proteksi pasar, terutama pada sisi hilir di mana produk garmen impor bisa masuk ke Tanah Air tanpa dikenai bea masuk tambahan. Kondisi ini disebut Rizal menyebabkan pangsa yang seharusnya bisa diisi oleh produk domestik menjadi kian sempit karena harus bersaing langsung dengan produk sejenis yang lebih murah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa impor pakaian dan aksesoris pakaian rajutan (pos tarif 61) mengalami penurunan dari US$422,10 juta pada 2019 menjadi US$295,73 juta pada 2020.
Meski demikian, Rizal mengatakan tren impor pakaian jadi cenderung naik sebelum pandemi. Hal ini setidaknya terlihat dari nilai impor yang konstan naik dalam kurun 2016 sampai 2018, dari US$171,83 juta menjadi US$380,34 juta.
“Karena itu kami minta pemerintah berlakukan safeguard yang besaran tarifnya bisa membuat produk tersebut lebih mahal dari pada produk lokal. Jika tidak demikian produk industri kecil menengah akan gugur satu per satu,” kata dia.
Rizal menyebutkan kehadiran produk garmen impor makin mempersulit keberlangsungan usaha tekstil yang dalam setahun terakhir harus berhadapan dengan ketatnya arus kas. Dia juga menyebutkan masih maraknya laporan mengenai restrukturisasi kredit usaha tekstil adalah sinyal yang menunjukkan belum pulihnya sektor ini.
“Secara umum pasar dalam negeri belum pulih, dan untuk ekspor pun masih terbatas order-nya karena situasi Covid-19 di beberapa destinasi yang belum membaik,” kata dia.