Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah membangun pusat inovasi dan riset digital di Sukabumi, Jawa Barat. Proyek yang diberi nama Bukit Algoritma layaknya Silicon Valley di Amerika Serikat ini dianggap tidak jelas.
Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan bahwa ada beberapa catatan Silicon Valley yang dimiliki Indonesia tidak menunjang sebuah pembangunan inklusif.
“Malah itu bisa jadi eksklusif dan bisa menjadi serangan balik bagi ekonomi Indonesia,” katanya melalui diskusi virtual, Kamis (15/4/2021).
Huda menjelaskan bahwa catatan yang pertama adalah ekosistem research and development (R&D) atau riset dan pengembangan Indonesia masih sangat rendah.
Saat ini kondisinya proporsi dana R&D terhadap produk domestik bruto 0,24 persen pada 2017. Ini jauh dengan Malaysia (1,44 persen) dan bahkan Singapura (2,22 persen).
Produk teknologi canggih yang ada di Indonesia juga sangat sedikit dan kebijakan insentif fiskal tidak optimal.
Catatan kedua adalah sumber daya manusia yang belum mencukupi untuk masuk ke industri 4.0. Terakhir, ketimpangan digital masih tinggi dalam hal keahlian dan penggunaan produk digital.
Selain tiga poin tersebut, masih ada lagi dalam catatan Huda yang sifatnya penunjang. Ekosistem R&D pada Bukit Algoritma tidak mengedepankan bidang teknologi informasi dan komunikasi tapi konstruksi.
Kedua, Sukabumi jauh dari kota dan universitas. Ini tentu akan kesulitan dalam menyediakan sumber daya mahasiswa.
“Ketiga, letak Sukabumi terletak di selatan Jawa yang realtif rawan bencana alam. Kebutuhan data center yang kuat bisa terkendala dari rawan bencana. Padahal, data center jadi tulang punggung pembangunan teknologi,” jelasnya.
Sillicon Valley ala Indonesia merupakan proyek di atas lahan seluas 888 hektare yang berlokasi di Cikidang dan Cibadak Sukabumi ini. PT Amarta Karya (Persero) dipercaya sebagai mitra infrastruktur pembangunan Bukit Algoritma.
Untuk tahap awal pembangunan selama tiga tahun ke depan, nilai total proyek diperkirakan bakal menghabiskan 1 miliar euro (setara Rp18 triliun).
Dana sebesar itu digunakan antara lain untuk peningkatan kualitas ekonomi 4.0, peningkatan pendidikan dan penciptaan pusat riset dan development untuk menampung ide anak bangsa terbaik demi Indonesia bangkit, serta meningkatkan sektor pariwisata di kawasan tersebut.